REMBANG, Lingkar.co – Sekretaris Kelompok Nelayan Pendok Ahmad Saerozi mengatakan, akhir-akhir ini nelayan rajungan di Kabupaten Rembang alami banyak kesulitan dan hambatan. Mulai dari aktivitas tongkang, limbah, cuaca dan modal usaha juga menjadi kendala yang di hadapi.
Ia berharap, dinas terkait lebih peka terhadap nasib para nelayan di Rembang, khususnya nelayan rajungan.
Lanjutnya, dalam seminggu lalu misalnya, Saerozi harus kehilangan sekitar 100 bobo dari 400 bobo yang di pasang di tengah laut.
“Kemarin saya kehilangan bobo 100. Kayaknya di bawa tongkang. Karena cuaca buruk saya tidak bisa ngecek ke sana sehingga saya tidak punya bukti. Kalau punya bukti pasti ganti.” ungkapnya saat ditemui di rumahnya pada jumat (8/1).
Ia menjelaskan, bahwa alat tangkap bobo yang ia gunakan dalam mencari rajungan banyak memberi keunggulan. Selain tidak melanggar aturan, alat ini menurut Saerozi mampu tetap menjaga dan tidak merusak habitat asli dari keberadaan rajungan.
“Jadi bobo itu keunggulannya banyak mas. Ya salah satunya tidak merusak karang dan tempat rajungan berkelompok.” ungkapnya.
Saat disinggung terkait susahnya rajungan akhir-akhir ini, Saerozi mengungkapkan, karena rusaknya habitat serta dampak dari limbah.
Pasalnya di area Sluke sendiri merupakan daerah yang memiliki beberapa perusahaan yang limbahnya ke laut. Sehingga mau tidak mau, dalam Proses mencari rajungan lebih ke tengah.
“Sampah-sampah rumah tangga itu juga yang bisa menyebabkan rajungan semakin jauh juga.” tutupnya.
Saerozi menyebutkan, bahwa cuaca dan aktivitas nelayan pencari ikan menjadi salah satu penyebab hilangnya bobo yang ia pasang.
“Soal peraturan menteri nomor 12/PERMEN-KP/2020 yang mengatur ketentuan penangkapan dan ekspor rajungan, pihaknya meresponnya dengan baik. Selama ini kelompok nelayannya patuh terhadap penggunaan terkait peraturan yang ada. Terlebih dengan penggunaan alat tangkap statis yang masyarakat sebut Bobo,” tandasnya. (lam/aji)
Baca Juga:
BPNT Dinilai Jadi Celah Penyimpangan