Lingkar.co – Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW), Iskandar Sitorus menyebut Daya Anagata Nusantara (Danantara) sebagai sebuah badan pengelola investasi milik negara Indonesia yang dibentuk untuk mengonsolidasikan dan mengelola aset BUMN agar lebih profesional dan optimal justru berjalan melebihi regulasi yang menjadi dasar kebijakan.
“Ada satu pola lama yang kini muncul dalam wajah baru, yakni proyek diumumkan dulu, aturan menyusul belakangan. Dan kali ini, pola itu muncul lewat Danantara, itu holding investasi negara yang masih berusia muda, tapi sudah berlari lebih cepat daripada regulasinya sendiri,” kata Iskandar dalam keterangan tertulisnya, Minggu (23/11/2025).
Ia menilai proyek Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) sebagai bukti negara seolah sudah siap meresmikan. Padahal tidak demikian ketika memperhatikan Peraturan Presiden RI Nomor 109 Tahun 2025 tentang penanganan sampah perkotaan melalui pengolahan sampah menjadi energi terbarukan berbasis teknologi ramah lingkungan.
“Publik dibuat percaya bahwa semuanya sudah matang. Seolah Perda sudah beres. Seolah lahan sudah bersih. Seolah investor sudah siap kucurkan dana. Seolah negara tinggal menunggu pemotongan pita,” tukasnya
Ia lantas menjelaskan dua syarat dalam Perpres 109/2025 mengatur Perda retribusi sampah harus ada sebelum MoU, tender, atau pengumuman proyek Waste-to-Energy (WtE) , “Ini bukan formalitas birokrasi. Ini sumber pendapatan proyek WtE. Tanpa Perda, cash flow WtE sama dengan nol. Tanpa cash flow, proyek berarti gagal,” paparnya.
Ia mengatakan, IAW masih mempertanyakan kota Bogor, Bekasi, Denpasar dan Yogyakarta yang dinyatakan siap untuk menerima tender PLTSa karena tidak atau belum memiliki perda
“Tidak ada publikasi. Tidak ada dokumen. Tidak ada penjelasan Danantara. Jadi bagaimana mereka berani mengumumkan investasi jumbo?,” tandasnya.
Ia menyebut Perpres tersebut juga mengatur lahan WtE wajib ‘clean and clear’, tanpa sengketa, tanpa tumpang tindih, tanpa konflik adat, tanpa pinjam pakai. Namun realita di lapangan tidak demikian.
“99% TPA di Indonesia tak bersertifikat, banyak yang berdiri di kawasan hutan, banyak yang bersengketa dengan masyarakat, banyak yang tumpang tindih HGB/HPL,” tudingnya.
“Pertanyaan IAW, bagaimana tiba-tiba empat kota itu clean dan clear? Tidak ada data. Tidak ada rilis. Tidak ada due diligence yang diumumkan,” tandasnya.
Ia menilai, praktek pelaksanaan tender proyek tersebut berpotensi melanggar sejumlah aturan yang berlaku, “Ini bukan sekadar prematur. Ini berpotensi melanggar Perpres, melanggar UU Keuangan Negara, bahkan jika dipaksakan masuk wilayah penyalahgunaan kewenangan sebagaimamanabdalam pasal 3 Tipikor.
Iskandar bilang, Danantara selalu menggunakan narasi paling halus tapi paling berbahaya dari seluruh skema. Setiap panggung publik Danantara diisi kalimat ‘minat investor luar biasa’, ‘banyak dana global antre’, dan ‘Indonesia jadi magnet investasi hijau’.
Padahal, kata dia, belum ada investor yang sudah meneken MoU atau binding agreement, tidak ada dana yang masuk, dan tidak ada catatan transaksi keuangan.
“Tidak ada angka. Tidak ada daftar. Tidak ada bukti. Yang ada hanyalah retorika. Dan narasi inilah yang digunakan untuk menjustifikasi bahwa empat kota ‘layak’ diumumkan, padahal syarat hukumnya belum dipenuhi satu pun,” tandasnya. (*)
