Blended Learning, Upaya Menjaga Efektifitas Pembelajaran saat Pandemi Covid-19

Wahyu Dwi Prasetiyaningsih, S.Pd., Guru Kelas V SD 3 Samirejo, Kecamatan Dawe, Kabupaten Kudus (DOK PRIBADI FOR LINGKAR.CO)
Wahyu Dwi Prasetiyaningsih, S.Pd., Guru Kelas V SD 3 Samirejo, Kecamatan Dawe, Kabupaten Kudus (DOK PRIBADI FOR LINGKAR.CO)

*Oleh:
Wahyu Dwi Prasetiyaningsih, S.Pd
Guru Kelas V SD 3 Samirejo, Kecamatan Dawe, Kabupaten Kudus

Penyebaran pandemi virus Corona (Covid-19) membawa perubahan besar bagi dunia termasuk Indonesia. Penyebaran virus corona menjadi penyebab angka kematian yang paling tinggi untuk saat ini. Hal ini membuat hampir seluruh sekolah menghentikan proses pembelajaran tatap muka. Sebagai gantinya, pembelajaran dilakukan dengan pembelajaran jarak jauh. Kemendikbud telah berupaya membangun kerjasama dengan berbagai pihak yang fokus mengembangkan sistem pendidikan daring (dalam jaringan).

Meski panduan pelaksanaan proses pendidikan telah dikeluarkan segera saat pemerintah mengumumkan terjadinya pandemi namun dalam tatanan praktis guru, peserta didik serta orang tua wali peserta didik masih kebingungan bagaimana implementasi dari pembelajaran daring ini.

Hijau-Minimalist-Ucapan-Selamat-Sukses-Kiriman-Instagram-3

Kemudian, saat pemerintah memutuskan untuk memberlakukan kebiasaan baru (new normal), Kemendikbud melalui surat edaran Nomor 3 Tahun 2020 pun mengijinkan sekolah di wilayah yang termasuk zona hijau untuk melaksanakan pembelajaran tatap muka, sekolah di wilayah kuning dan jingga untuk melakukan pembelajaran campuran (blended learning) antara pembelajaran tatap muka dan daring dengan tetap mematuhi protokol kesehatan. Blended learning merupakan sebuah istilah yang relatif baru dalam dunia pendidikan khususnya pendidikan dasar. Menurut Throne (2003:10), blended learning berarti gabungan antara sistem pembelajaran tatap muka (face to face) atau bisa definisikan pembelajaran langsung dikelola oleh guru dan siswa dalam satu tempat (teacher-led learning) dengan pembelajaran berbasis elektronik atau internet (e-learning atau online learning), dimana pembelajaran ini adalah kebalikan dari pembelajaran  yang dapat digunakan oleh siapa saja (everyone), di mana saja (everywhere), kapan saja (anytime). Istilah blended learning mengandung arti percampuran atau kombinasi pembelajaran atau perpaduan dari unsur-unsur pembelajaran tatap muka langsung dan online secara harmonis dan padu yang ideal.

Istilah blended learning biasanya berasosiasi dengan memasukan media online pada program pembelajaran, sementara pada saat yang sama tetap memperhatikan dan perlunya mempertahankan kontak tatap muka dan pendekatan tradisional yang lain untuk mendukung pembelajaran peserta didik (Bersin, 2004:207-243). Istilah ini juga digunakan saat media tidak langsung (asynchronous), seperti modul, email, forums, blogs, wiki, video tutorial, atau social media yang digabungkan dengan teknologi atau media langsung (synchronous), seperti google meet, zoom, team meet dan video call.

Pembelajaran campuran (blended learning) yang diterapkan saat ini tentu merupakan tantangan baru bagi guru yang membuat mereka harus menguasai media pembelajaran berbasis teknologi untuk melangsungkan kegiatan pembelajaran dan diharapkan mampu berkreasi dalam proses pembelajaran supaya tujuan pembelajaran dapat dicapai secara maksimal (Ramadhan, 2018). Disaat kegiatan pembelajaran berlangsung perlu diperhatikan keefektifan dengan kata lain tingkat keberhasilan yang dicapai. Ciri-ciri keefektifan program pembelajaran adalah berhasil mengantarkan siswa mencapai tujuan-tujuan instruksional yang telah ditentukan, memberikan pengalaman belajar yang atraktif, melibatkan siswa secara aktif sehingga menunjang pencapaian tujuan instruksional dan memiliki sarana-sarana yang menunjang proses belajar mengajar (Nurdin dan Anhusadar, 2020). Keefektifan pembelajaran tidak hanya dilihat dari hasil belajar siswa saja, tetapi juga harus dilihat dari segi proses pembelajaran. Oleh karena itu, peneliti melakukan analisis terkait efektivitas pelaksanaan pembelajaran online dari sudut pandang guru, khususnya bagi guru-guru yang berada di wilayah Kabupaten Kudus.

Png-20230831-120408-0000

Untuk melihat apakah sistem pembelajaran campuran (blended learning) mampu menjaga efekifitas pembelajaran, maka dilakukanlah survey dengan responden 38 guru yang ada di Kabupaten Kudus. Kemudian hasil dan pembahasan dari empat kategori yang diteliti adalah sebagai berikut:

  • Kesiapan guru dalam melaksanakan pembelajaran campuran (blended learning)

Berasarkan hasil survey yang dikumpulkan peneliti menujukkan bahwa guru sekolah dasar di Kabupaten Kudus sudah siap dalam melaksanakan pembelajaran campuran (blended learning). Ini dibuktikan dengan hasil survey ini. 50% guru di Kabupaten Kudus menyatakan sangat siap. 39,5% menyatakan siap. 5,3% menyakan ragu-ragu dan 5,3% menyakan tidak siap.

  • Penggunaan media pembelajaran campuran (blended learning)

Dalam sisi penggunaan media dalam sistem pembelajaran campuran (blended learning), survey ini menghasilkan beberapa catatan. Pertama, guru sekolah dasar di Kabupaten Kudus menggunakan media yang sangat bervariasi. Ini dibuktikan dengan hasil survey sebanyak 68,4% guru menggunakan media yang bervariasi dan hanya 31,6% yang menggunakan media yang monoton. Kedua, hanya 34,7% guru menyatakan bahwa media pembelajaran berbasis teknologi informasi yang digunakan saat ini sangat optimal dalam mengajarkan materi, selebihnya; 63,3% menyatakan ragu-ragu bahkan tidak optimal. Ini menujukkan kemampuan memaksimalkan teknologi sebagai media pembelajaran masih rendah. Ketiga, hanya 34,2% guru yang menyatakan setuju siswa lebih mudah mengerti ketika diajar dengan sistem pembelajaran campuran (blended learning), sedangkan sisanya; 65,8% menyatakan ragu-ragu, bahkan sangat tidak setuju. Ini menujukkan bahwa penggunaan sistem pembelajaran ini memiliki hasil yang tidak optimal. Ada perbedaan mencolok pada sisi yang keempat, yakni 71,1% guru menyatakan bahwa sangat mudah mengakses apapun terkait, bahan ajar, media, dan modul dalam menujang sistem pembelajaran ini, sedangkan hanya 28,9% menyatakan kesulitan. Ini membuktikan bahwa pemerintah telah maksimal dalam memfasilitasi sistem pembelajaran campuran ini.

  • Tanggapan guru tentang sistem pembelajaran campuran (blended learning)

Kemudian dari sisi tanggapan guru dalam implementasi sistem pembelajaran campuran (blended learning), survey ini menunjukkan hasil yang dinamis. Pertama, hanya 42,1% guru yang menyatakan lebih mudah mengajarkan materi pelajaran dengan menggunakan media pembelajaran berbasis teknologi informasi, sedangkan selebihnya; 57,9% menyatakan ragu-ragu bahkan tidak setuju. Ini menunjukkan kompetensi guru dalam menggunakan media pembelajaran berbasis teknologi informasi kurang maksimal. Kedua, hanya 44,7% guru yang mendukung sistem pembelajaran campuran (blended learning) untuk terus digunakan di sekolah; sedangkan 55,3% menyatakan ragu-ragu atau bahkan tidak mendukung. Ini membuktikan rata-rata guru sekolah dasar di Kudus menginginkan kembali pembelajaran tatap muka walaupun tidak sedikit juga yang mendukung sistem pembelajaran baru seperti blended learning. Ketiga, menurut guru 52,6% siswanya ragu-ragu atau masih bingung antara suka dan tidak suka akan pembelajaran blended learning ini. Ini dikarenakan usia siswa di sekolah dasar masih labil dalam mengutarakan pendapatnya. Akan tetapi, 36,8% guru menyatakan bahwa siswanya suka dan memberikan respon yang positif dan hanya 10,5% yang tidak suka. Yang keempat, 42,7% guru menyatakan orang tua/ wali siswa merespon positif terhadap sistem pembelajaran campuran (blended learning), 34,2% ragu-ragu dan sisanya 21,1% tidak merespon negatif, hampir sama dengan faktor siswa.

  • Kebermanfaatan pembelajaran campuran (blended learning)

Untuk masalah kebermanfaatan pembelajaran campuran (blended learning) survey juga mempunyai hasil yang dinamis. Pertama, berkaitan dengan hasil belajar yang diperoleh siswa bisa lebih baik ketika guru mengajar dengan menggunakan sistem pembelajaran campuran (blended learning) dibandingkan sistem daring saja, 52,7% menyatakan setuju, 34,2% ragu-ragu dan sisanya 13,1% tidak setuju. Kedua, berkaitan dengan hasil belajar yang diperoleh siswa lebih baik ketika guru mengajar dengan menggunakan sistem pembelajaran campuran (blended learning) dibandingkan sistem tatap muka saja, 44,7% menyatakan setuju, 26,3% ragu-ragu dan selebihnya 29% tidak setuju. Ketiga, berkenaan dari sisi guru yang lebih mudah mengontrol kegiatan siswa ketika menggunakan sistem pembelajaran campuran (blended learning) menurut hasil survey, 44,7% menyatakan setuju, 23,7% ragu-ragu dan selebihnya 31,2% tidak setuju. Terakhir, berkenaan dari sisi guru yang lebih mudah mengadministrasi kegiatan pembelajaran ketika menggunakan sistem pembelajaran campuran (blended learning), survey membuktikan 36,8% menyatakan setuju, 39,5% ragu-ragu dan selebihnya 23,7% tidak setuju. Hasil-hasil tersebut menandakan bahwa sistem pembelajaran campuran (blended learning) efektif dalam situasi pandemi Covid-19 ini.

Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa; guru sekolah dasar di Kabupaten Kudus sangat siap mengimplimentasikan sistem pembelajaran campuran (blended learning), guru sekolah dasar di Kabupaten Kudus mudah mengakses media pembelajaran yang bisa digunakan dalam sistem pembelajaran campuran (blended learning) akan tetapi belum maksimal dalam implementasinya, guru sekolah dasar di Kabupaten Kudus tidak mendukung sistem pembelajaran campuran (blended learning) dilakukan secara terus menerus dan lebih menantikan pandemi Covid-19 segera berakhir dan sistem pembelajaran campuran (blended learning) sangat bermanfaat dalam menjaga kualitas dan hasil pembelajaran siswa saat pandemi Covid-19.(*)

Dapatkan update berita pilihan dan terkini setiap hari dari lingkar.co dengan mengaktifkan Notifikasi. Lingkar.co tersedia di Google News, s.id/googlenewslingkar , Kanal Telegram t.me/lingkardotco , dan Play Store https://s.id/lingkarapps

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *