Site icon Lingkar.co

Fisip Unwahas Ajak Mahasiswa Cerdas Pahami Politik Pencitraan di Medsos

Panitia dan narasumber berfoto bersama seusai seminar dan kuliah tamu bertema; Tokoh Politik di Media Sosial: Fakta atau Gimmick? di Meeting Room Lantai 6 Gedung Dekanat Unwahas, Sampangan. Foto: istimewa

Panitia dan narasumber berfoto bersama seusai seminar dan kuliah tamu bertema; Tokoh Politik di Media Sosial: Fakta atau Gimmick? di Meeting Room Lantai 6 Gedung Dekanat Unwahas, Sampangan. Foto: istimewa

Lingkar.co – Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) mengajak mahasiswa untuk cerdas dalam memahami politik pencitraan yang marak di media sosial, terlebih di era yang mengandalkan teknologi informasi ini.

Hal ini menjadi sorotan utama dalam seminar dan kuliah tamu bertema; Tokoh Politik di Media Sosial: Fakta atau Gimmick? yang digelar oleh Program Magister Ilmu Politik (MIP) dan Prodi Ilmu Politik Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) pada Jumat (11/7/2025) kemarin.

Acara yang berlangsung di Meeting Room Lantai 6 Gedung Dekanat Unwahas, Sampangan, ini dihadiri oleh mahasiswa dan dosen dari berbagai jenjang.

Seminar menghadirkan dua narasumber, salah satunya adalah Tim Ahli DPR/MPR RI sekaligus Konsultan Digital, Prio Hananto, M.I.Kom., yang banyak bicara tentang komunikasi politik di era digital, citra, strategi, dan realita.

Dalam paparannya, Prio Hananto menekankan bahwa media sosial telah mengubah lanskap komunikasi politik secara drastis.

Ia menyebut bahwa platform seperti Instagram, TikTok, dan X (dulu Twitter) kini menjadi arena utama pencitraan politik, di mana narasi, emosi, dan visual menjadi kunci utama dalam membentuk persepsi publik.

“Politisi tidak hanya bicara soal kebijakan, tapi juga bagaimana mereka tampil, terlihat dekat, dan mampu memancing simpati publik,” ujar Prio.

Menurutnya, konten-konten politik di media sosial kerap dibungkus dalam gaya yang menghibur, ringan, dan relatable, meski tak selalu substansial.

Ia juga mengambil studi kasus sosok politisi Golkar di Dapil 2 Jateng yang mengenakan kostum komik “Ultraman” saat Pemilu 2024 lalu

Selain itu, Prio juga mengungkap adanya pergeseran fungsi media sosial dari sarana komunikasi menjadi sarana marketing politik.

“Kita menyaksikan politisi bertransformasi menjadi semacam influencer politik. Mereka memproduksi konten yang dikurasi, penuh strategi, dan kadang menjauh dari realitas kebijakan,” jelasnya.

Ia menilai, pencitraan di media sosial tidak selalu buruk selama masih diiringi dengan transparansi dan akuntabilitas. Namun, yang menjadi masalah adalah ketika citra sepenuhnya menutupi substansi.

“Di sinilah publik perlu kritis. Apakah yang ditampilkan itu representasi nyata, atau sekadar gimmick untuk mendulang suara?” tegasnya.

Selain itu, Prio juga menyoroti peran tim kreatif dan konsultan digital dalam membentuk narasi politik.

Ia menyebut bahwa banyak tokoh politik kini memiliki tim konten yang profesional, lengkap dengan analis data, editor video, hingga ahli strategi kampanye digital.

“Era digital menuntut politisi melek media. Tapi kita juga perlu mendorong mereka tetap melek etika,” tambah Prio.

Ia mengajak kalangan akademik dan mahasiswa untuk aktif mengkaji dinamika ini agar tidak larut dalam euforia pencitraan semata.

Seminar ini juga menghadirkan Azmi Muttaqin, S.IP., M.Si., dosen Ilmu Politik Unwahas, yang memberikan tinjauan akademik terhadap perubahan relasi antara politisi dan publik di era digital.

Azmi Muttaqin menyoroti sisi etika dan dampak jangka panjang dari politik pencitraan. Ia menekankan pentingnya literasi politik digital bagi masyarakat agar tidak mudah terjebak pada simbol dan drama yang kerap ditampilkan di media sosial.

“Media sosial memang membuka ruang demokratisasi informasi, tetapi juga menyuburkan polarisasi jika digunakan secara manipulatif,” jelas Azmi.

Dibutuhkan Politisi yang Otentik

Sementara itu, Dekan FISIP Unwahas, Dr. Ali Martin, M.Si dalam sambutan pembuka, mengapresiasi kegiatan ini sebagai bagian dari penguatan kompetensi mahasiswa dalam memahami dinamika politik kontemporer.

“Kami ingin mahasiswa tidak hanya menjadi penonton, tapi juga analis dan pelaku politik yang cerdas dan etis,” tegasnya.

Melalui seminar ini, peserta diajak untuk lebih kritis melihat citra tokoh politik di media sosial—antara yang benar-benar otentik dan sekadar rekayasa digital.

“Kita butuh politisi yang benar-benar otentik, bukan sekedar pencitraan semu, atau bahkan palsu, tegas Ali Martin.

Acara ini juga menjadi pengingat bahwa di balik layar ponsel, ada kekuatan narasi yang mampu membentuk persepsi publik dan arah demokrasi ke depan.

Kegiatan ini menjadi bagian dari upaya kampus dalam mengkritisi peran media sosial dalam demokrasi kontemporer. (*)

Exit mobile version