Lingkar.co – Saatnya Panglima TNI dijabat ‘Laksamana Raja di Laut’. Begitu kiranya meminjam judul lagu melayu klasik Iyet Bustami. KSAL Laksamana Yudo Margono setelah sabar setahun menunggu, akhirnya tampil sebagai pucuk pimpinan TNI menggantikan Jendral Andika Perkasa.
Sejauh ini, sepanjang sejarah Republik Indonesia, baru ada 2 figur KSAL yang mendapat kesempatan menjadi Panglima TNI selain Laksamana Yudo. Dan itu terjadi di era reformasi pasca 1998. Mereka adalah Laksamana Widodo AS dan Laksamana Agus Suhartono.
Yudo Margono sebelum menjabat sebagai KSAL pernah mendapat kepercayaan sebagai Pangkogabwilhan I yang salah satu wilayah operasionalnya adalah hot spot terpanas Laut Natuna Utara (LNU).
Antisipasi dinamika LNU yang demam berkepanjangan adalah konsentrasi penuh armada tempur TNI AL untuk siaga penuh. Tentu bersama TNI AD dan TNI AU. Sudah ada brigade tempur komposit Gardapati di Natuna dengan sejumlah pergelaran alutsista berbagai jenis.
Antara lain ada skuadron jet tempur, UAV, satuan radar, sejumlah KRI. Termasuk kapal-kapal BAKAMLA dan KKP.
Sepak Terjang Jaga Laut Natuna Utara
Inisiatif KSAL membangun kapal perang striking force jenis korvet untuk VVIP dengan nama KRI Bung Karno 369 adalah untuk sebuah refleksi nasional. Ini adalah kapal perang kepresidenan.
Pemberian nama KRI Bung Karno sekaligus untuk mengingatkan kita betapa seorang ‘Bung Besar’ Soekarno dengan ‘Dekrit Trikoranya’ tahun 1961 mampu menjadikan angkatan laut Indonesia berjaya, disegani dan terkuat di kawasan bumi selatan.
Bayangkan saat itu kita mempunyai seratusan kapal perang dan 12 kapal selam ‘Whiskey Class’ dari Uni Sovyet. Juga kekuatan angkatan udara yang menggetarkan kawasan dengan seratusan pesawat tempur dan bomber strategis.
Atas dasar kekuatan armada yang besar ini Presiden AS John F Kennedy kemudian ‘membujuk’ Belanda agar bersedia keluar dari Papua secara terhormat melalui diplomasi dan bendera PBB. Akhirnya Belanda bersedia ‘pulang kampung’.
Pembangunan kapal perang jenis korvet KRI Bung Karno 369 ini dibuat oleh galangan kapal swasta nasional di Batam. Bukan beli dari luar negeri. Dan ini jelas satu semangat dengan kalimat ‘Berdikari’ sebagaimana gelora The Founding Father Republik Indonesia.
Seremoni penamaan KRI Bung Karno 369 dilakukan oleh Presiden ke 5 Megawati Sukarno Putri bersama KSAL pada tanggal 20 Juni 2022 yang lalu di Jakarta.
Keluarga Yudo Margono
Yudo Margono adalah figur sederhana yang lugas dan lincah dalam menjalankan tugas ketentaraannya. Jauh dari hingar bingar politik.
Yudo Margono yang lahir di Madiun 57 tahun lalu memiliki seorang istri perwira Polri berpangkat AKBP. Pribadinya sederhana namun mimik wajahnya selalu memperlihatkan keseriusan dan ketegasan.
Pada sisi yang lain ia ternyata seorang humanis yang cukup pintar berdendang. Vokal campur sarinya merdu di telinga.
Sebagai KSAL yang sedang mengembangkan kekuatan TNI AL, Yudo memindahkan markas Guskamla (Gugus keamanan laut) untuk bermarkas di Sabang. Kemudian Koarmada Satu ia pindah dari Jakarta ke Tanjung Pinang. Koarmada Dua di Surabaya dan Koarmada Tiga di Sorong Papua.
Sangat tepat keputusan memindahkan markas Koarmada Satu di ‘garis depan’ Kepulauan Riau. Juga sekaligus markas Kogabwilhan Satu. Rentang kendali dan efektivitas operasi KRI lebih terukur. Tidak perlu bolak balik ke Jakarta.
Sisi lain, PT PAL saat ini sedang mempersiapkan pembangunan 2 kapal perang jenis fregat Arrowhead 140. Juga ada pesanan on going project sedang dalam proses produksi belasan kapal perang untuk TNI AL.
Antara lain seperti OPV, LST, LPD, penyapu ranjau, KCR, KPC, BCM. Untuk alutsista marinir bisa dong lebih diprioritaskan pertambahannya karena sudah dikembangkan menjadi 3 divisi.
Pasukan marinir adalah pasukan serbu pantai, maka sangat wajar perlu menambah alutsista secara kuantitas dan kualitas.
Kita berharap Laksamana Yudo mampu mengembangbesarkan angkatan laut negeri kepulauan ini bersama dua matra lainnya. Tentu bersinergi dengan Kementerian Pertahanan. Program modernisasi 41 KRI striking force dapat selesai karena dinamika potensi konflik di kawasan sudah di depan mata.
Juga penambahan jet tempur, satuan peluru kendali berbagai jenis, radar GCI dan pesawat peringatan dini AWACS. Indonesia harus mempersiapkan kekuatan militernya sebagai antisipasi cuaca terburuk di kawasan Indo Pasifik, khususnya Laut China Selatan. Laksamana raja di laut sudah sangat paham sekali soal geopolitik dan geostrategis ini. (*)
Penulis: Jagarin Pane
Penulis adalah Pemerhati Pertahanan dan Alutsista TNI, tinggal di kota Semarang
Dapatkan update berita pilihan dan terkini setiap hari dari lingkar.co dengan mengaktifkan Notifikasi. Lingkar.co tersedia di Google News, s.id/googlenewslingkar , Kanal Telegram t.me/lingkardotco , dan Play Store https://s.id/lingkarapps