Lingkar.co – Menyemai budaya sadar diri di era digital menjadi satu dari sekian nilai tawar yang mungkin belum ada dalam berbagai seminar literasi digital. Padahal, gerakan kembali kepada nilai-nilai kearifan budaya lokal (Local Wisdom) merupakan solusi konkret yang sederhana dalam memberikan edukasi terhadap kelompok masyarakat yang gagap menyikapi era percepatan teknologi informasi.
Jargon Saring Sebelum Sharing sejatinya merupakan sudut pandang dari menara gading dari kaum intelektual yang tidak memahami dinamika budaya bangsa Indonesia. Sebab, untuk menyaring informasi yang masuk membutuhkan keterampilan tersendiri yang artinya tidak semua orang memiliki kemampuan untuk mencari klarifikasi.
Kendati demikian, upaya tersebut telah diimbangi media massa maupun kelompok masyarakat gabungan ahli teknologi, jurnalis dan pegiat media sosial seperti Masyarakat Antifitnaj Indonesia (Mafindo).
Sadar Diri Jadi Tameng Hoax
Data UNESCO mencatat bahwa Indonesia berada pada peringkat ke 72 dari 77 negara untuk tingkat literasinya. PISA (Programme for International Student Assessment) menunjukkan data bahwa 70 % siswa Indonesia belum bisa memahami maksud teks dengan baik. Ironisnya, dengan dalih literasi digital, anak-anak lebih lancar dalam mengoperasikan gawai di era sekarang ini daripada membaca buku.
Di lain sisi, persebaran informasi dalam bentuk narasi maupun video dan bahkan rekaman suara yang berkembang merupakan bentuk nyata bahwa hoax (kabar bohong) sengaja diproduksi oleh sekelompok masyarakat, dan bahkan tidak menutup kemungkinan menjadi sebuah bagian dari dunia industri digital. Sementara kemampuan masyarakat untuk melakukan cek fakta tidak cukup untuk membendungnya, terlebih pada momen tertentu seperti momen politik.
Untuk itu, hoax perlu disikapi dengan gerakan budaya Sadar Diri. Dalam hal ini ada banyak sekali persoalan budaya bangsa yang terkikis oleh teknologi. Sadar diri yang biasanya kita dengar dengan istilah andap asor, lembah manah, unggah-ungguh dan sebagainya nyaris tidak nampak dalam kehidupan kita bermedia sosial. Padahal, media sosial hanya memindahkan ruang interaksi antarindividu yang memangkas jarak dan waktu.
Secara faktual, gerakan kembali kepada budaya sadar diri perlu menjadi sebuah perhatian dalam materi khusus dalam seminar, sosialisasi maupun pendidikan literasi digital sebagaimana sekolah karakter yang diikuti oleh pelajar pada musim libur panjang. Sadar diri yang paling rendah dalam budaya digital akan meminimalisir kegaduhan di media sosial. Sadar diri bukan ahli agama tentu tidak akan berani berkomentar tentang agama, sadar diri bukan ahli ekonomi tentunya sangat berhati-hati untuk tidak terpancing berkomentar terhadap situasi perkembangan ekonomi. Ringkasnya, sadar diri bukan sebagai orang yang kompeten pada hal-hal tertentu akan menjadikan diri ikut memperkeruh suasana.
Bangsa Besar
Kilas balik tentang sejarah literasi pada masa Hindia Belanda menunjukkan bahwa terjadi pembodohan secara merata terhadap warga pribumi (bangsa Indonesia) pada era tanam paksa. Setelah itu muncul politik etis sebagai kebijakan baru dengan adanya akses pendidikan yang layak hanya dinikmati oleh kalangan tertentu. Yakni golongan bangsawan. Imbas dari kependudukan Belanda di Indonesia nampak pada menurunnya budaya membaca dan belajar. Penjajahan terbesar bukan dalam urusan ekonomi, namun menghilangkan kesadaran akan diri sebagai bangsa yang besar.
Namun jauh sebelum itu, bangsa ini telah mengenal budaya menulis. Hal itu terbukti dengan adanya beberapa aksara pada prasasti, juga berbagai karya sastra kuno karya Mpu Prapanca, Mpu Tantular dan sebagainya. Karya tersebut bahkan menunjukkan kejayaan bangsa Nusantara ini seperti Kakawin Sutasoma karya Mpu Tantular. Menariknya, meski tertulis dalam lembaran lontar namun mengisahkan kejayaan Majapahit kala itu.
Selain itu, bangsa ini memiliki tradisi budaya tutur yang mana banyak sejarah yang belum tertuliskan namun tetap bisa dinikmati kisahnya. Bahkan, tidak sedikit pula kisah dalam budaya tutur yang dianggap sebagai mitos karena banyak menggunakan permainan simbol ‘majas’ dalam penuturan kisah. (*)
Penulis: Nur Syafaáh, M.Pd.
Dosen FTIK Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang