Site icon Lingkar.co

Nestapa Petani di Bayan Utara, 15 Tahun Irigasi Mati Tanpa Ada Solusi

PROTES. Coretan bernada protes dibentangkan di saluran irigasi yang telah mati selama 15 tahun tanpa ada penyelesaian yang jelas dari pemerintah.

PROTES. Coretan bernada protes dibentangkan di saluran irigasi yang telah mati selama 15 tahun tanpa ada penyelesaian yang jelas dari pemerintah.

Lingkar.co – Peringatan Hari Tani Nasional menjadi panggung kemarahan petani di Kecamatan Bayan Utara, Kabupaten Purworejo. Alih-alih dirayakan dengan sukacita, momen tersebut justru membuka luka lama, matinya saluran irigasi Kragilan yang sudah 15 tahun tak mengalirkan air.

Warga dari Desa Sambeng, Jrakah, Bringin, Pekutan, Bayan, hingga Pucangagung menumpahkan kekecewaan mereka melalui aksi protes pada Rabu (26/09/2025). Di sepanjang jalur irigasi, spanduk sindiran keras dibentangkan, memuat tulisan seperti; “15 Tahun Ora Mili Cuk,” ” Bapak KDM, Tolong Kami,” “Ora Butuh Janji, Butuh Banyu Mili,” hingga “Saluran Ada, Air Mana?”, sebuah seruan yang menohok pemerintah daerah maupun pusat atas kegagalan mengelola sumber air yang menjadi nyawa pertanian .

Bagi para petani, irigasi mati bukan sekadar masalah teknis, tetapi persoalan hidup. Muhaimin, petani asal Sambeng, menuturkan bahwa selama bertahun-tahun mereka harus mengeluarkan biaya besar hanya untuk sekadar menanam. “Kami sudah terlalu lama menunggu. Tolong realisasikan saluran air ini, agar petani bisa hidup layak,” ujarnya.

Kondisi serupa dialami Tukimin, petani lain yang memilih membuat sumur bor agar sawahnya bisa diolah. “Modal besar, hasil tidak sebanding. Petani jadi korban,” keluhnya. Banyak petani bahkan memilih membiarkan lahan mereka terbengkalai karena perhitungan ekonomi tak lagi masuk akal. “Mau diolah, tidak untung. Dibiarkan, hati tidak tenang. Hidup segar, mati tak mau,” ungkap seorang petani dengan nada getir.

Padahal, pemerintah kerap menggembar-gemborkan ketahanan pangan sebagai prioritas nasional. Namun, di tingkat akar rumput, petani justru dipaksa bertahan sendirian.

“Hari Tani seharusnya menghargai pejuang pangan. Tapi kenyataannya, kami masih menjerit tanpa air,” ujar salah satu peserta aksi.

Selama 15 tahun, berbagai janji perbaikan terdengar, tapi tak satu pun berujung pada solusi nyata. Warga menduga persoalan ini tak hanya soal kerusakan fisik saluran, melainkan juga lemahnya komitmen anggaran dan pengawasan pemerintah.

Kini, mata masyarakat Bayan tertuju pada pemerintah daerah dan pusat. Mereka menuntut langkah konkret, bukan sekadar wacana. Sebab, tanpa irigasi, jargon ketahanan pangan hanyalah slogan kosong, dan Hari Tani akan terus dirayakan dengan kemarahan yang sama. (*)

Penulis: Lukman Khakim

Exit mobile version