Lingkar.co – Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA, mengungkapan perolehan dukungan untuk partai berbasis Islam dalam pemilu mengalami pasang surut.
Partai berbasis Islam dalam konteks ini, ditentukan oleh dua ukuran. Pertama, persepsi publik bahwa itu partai berbasis Islam di survei nasional LSI Denny JA.
Kedua, Jika tidak ada basis data survei, ditentukan melalui pendapat ahli atau dikenal dengan expert judgement.
Hal tersebut diungkapkan Direktur CPA LSI Denny JA, Ade Mulyana, dalam rilisnya kepada Lingkar.co, Jumat (17/3/2023) malam.
“Walau pemilih Indonesia 87 persen muslim, partai berbasis Islam tidak pernah menang pemilu bebas, bahkan mengecil,” ucapnya.
Ade mengatakan, yang dimaksud pemilu bebas, adalah pemilu sejak era kebebasan partai politik atau era Reformasi (1999-2024), ditambah pemilu 1955.
“Pemilu era Orde Baru tidak dimasukkan ke dalam kategori pemilu bebas karena partai peserta pemilu hanya dibatasi menjadi 3 partai politik yang itu-itu saja,” jelasnya.
Ia mengatakan, untuk Pemilu 2024, hasil survei nasonal terbaru LSI Denny JA, menunjukkan partai berbasis Islam berpotensi mengalami kemerosotan dukungan.
Bahkan, dalam pemilu 2024, partai berbasis Islam potensial memperoleh dukungan paling kecil sepanjang sejarah pemilu bebas di Indonesia.
Berikut persentase dukungan untuk partai berbasis Islam pada pemilu era Reformasi, ditambah Pemilu 1955:
- Pemilu 1955 (Era Orde Lama)
Total dukungan untuk partai berbasis Islam sebesar 43.9 persen. Sedangkan, partai berbasis terbuka/nasionalis sebesar 56.1 persen.
“Perbandingannya sebesar 1 berbanding 1.3,” kata Ade.
Partai berbasis Islam di Pemilu 1955 adalah MASYUMI, NU, PSII, PERTI, PPTI, AKUI. - Pemilu 1999 (Era reformasi)
Partai berbasis Islam yang menjadi peserta Pemilu 1999 adalah PPP, PBB, PK, PKNU, PP, PPI MASYUMI, PSII, PKU.
Ada pula Partai KAMI, PUI, PAY, PIB, SUNI, PSII 1905, PMB, PID, PAN, PK.
Total dukungan suara untuk partai berbasis Islam mencapai sebesar 37.4 persen. Sedangkan, partai berbasis terbuka/nasionalis sebesar 62.6 persen.
“Jika dibuat dalam perbandingan, maka dukungan partai berbasis Islam dengan dukungan partai berbasis terbuka/nasional sebesar 1 berbanding 1.7,” ucap Ade. - Pemilu 2004
Berbeda dalam pemilu 2004. Di tahun itu, total dukungan suara untuk partai berbasis Islam sebesar 38.3 persen.
Sementara total dukungan untuk partai berbasis terbuka/nasionalis sebesar 61.7 persen.
“Perbandingannya sebesar 1 berbanding 1.6,” kata Ade.
Partai berbasis Islam di Pemilu 2004 adalah PKB, PPP, PKS, PAN, PBB, PBR, PPNUI. - Pemilu 2009
Dalam pemilu 2009, total dukungan untuk partai berbasis Islam sebesar 29.2 persen. Sedangkan, partai berbasis terbuka/nasionalis sebesar 70.8 persen.
“Jika dibuat dalam perbandingan, maka dukungan partai berbasis Islam dengan dukungan partai berbasis terbuka/nasional sebesar 1 berbanding 2.4,” ucap Ade.
Partai berbasis Islam di Pemilu 2009 adalah PKS, PAN, PPP, PKB, PBB, PKNU, PBR, PMB, PPNUI. - Pemilu 2014
Sedangkan pada pemilu 2014, total dukungan Partai berbasis Islam sebesar 31.4 persen. Sementara, partai berbasis terbuka/nasionalis sebanyak 68.6 persen.
“Perbandingannya sebesar 1 berbanding 2.2,” kata Ade.
Partai berbasis Islam pada Pemilu 2014 adalah PKB, PAN, PKS, PPP, dan PBB. - Pemilu 2019
Pada pemilu 2019, partai berbasis Islam adalah PKB, PAN, PKS, PPP, dan PBB.
Total dukungan untuk partai berbasis Islam sebesar 30.1 persen. Sedangkan, partai berbasis terbuka/nasional sebanyak 69.9 persen. Perbandingannya 1 berbanding 2.3. - Pemilu 2024
Ade mengatakan, setahun sebelum pemilu legislatif 2024, total perolehan partai berbasis Islam ketimbang partai terbuka/nasionalis berjarak sangat jauh.
Total dukungan suara untuk partai berbasis Islam mencapai 17,6 persen. Sedangkan, dukungan terhadap partai terbuka/nasionalis sebesar 61 persen.
“Jika dibuat dalam perbandingan, maka dukungan partai berbasis Islam dengan dukungan partai berbasis terbuka/nasional 1 berbanding 3.5,” jelas Ade.
Mengalami Pasang Surut
Jika merujuk pada hasil survei tersebut, Ade menilai, perolehan dukungan untuk partai berbasis Islam dalam pemilu bebas mengalami pasang surut.
Dia mengatakan, pesona partai berbasis Islam menyusut drastis dari 43.9 persen pada pemilu 1955, kini terus merosot dibawah 40 persen.
“Bahkan kini berpotensi dibawah 25 persen,” ucap Ade.
Dia mengatakan, perolehan tertinggi partai politik berbasis Islam terjadi pada pemilu 1955 dengan dukungan sebesar 43.9 persen.
Sedangkan, perolehan terendah terjadi pada pemilu 2009, dengan dukungan sebesar 29.2 persen.
Namun pada pemilu 2024, Ade mengatakan, partai politik berbasis Islam potensial diprediksi terendah dengan dukungan dibawah 25 persen.
“Jika kita membuat rata- rata perbandingan dukungan partai berbasis Islam versus berbasis nasionalis/terbuka sepanjang sejarah pemilu bebas, ini hasilnya,” ucapnya.
Sejak pemilu era reformasi (1999, 2004, 2009, 2014, 2019), ditambah pemilu era Orde Lama 1955, rata-rata dukungan total partai berbasis Islam 35 persen.
Sebaliknya, dukungan total partai berbasis terbuka/nasionalis sebesar 65 persen. Perbandingannya adalah 1 berbanding 1.9.
Ini Penyebabnya
Ade mengungkapkan penyebab partai berbasis Islam tidak pernah nomor satu, bahkan cenderung merosot pada setiap pemilu.
Penyebab pertama adalah depolitisasi Islam era Orde Baru selama 20 tahun atau periode 1978-1998.
“Pada masa itu, berlaku secara massif dan keras pemaksaan azas tunggul Pancasila (1985, melalui UU Partai Politik dan UU Keormasan)” kata Ade.
“Berlaku pula secara massif dan keras pendidikan P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila) di tetapkan melalui tap MPR 1978,” sambungnya.
Penyebab kedua, absennya capres berlatar belakang santri yang kuat. Padahal, Ade menilai, capres yang kuat menarik partainya kuat pula.
“Sejak pilpres pilihan langsung 2004, tidak ada capres yang kuat yang berlatar belakang politik Islam,” ucap Ade.
“Bahkan, Amien Rais yang populer sebagai tokoh reformasi pada 2004, sudah tersisih di putaran pertama,” sambungnya.
Lebih lanjut, Ade mengatakan, setelah pemilu presiden 2004, praktis tak ada capres berlatar politik Islam yang berhasil.
“Bahkan hanya untuk maju secara sah sebagai kandidat presiden tidak,” jelas Ade.
Penyebab ketiga, tidak ada inovasi yang segar dari partai berbasis Islam yang menambah dukungan dan pesona, sejak reformasi.
“Partai terbuka/nasionalis mengalami hal yang sama, tetapi mereka memiliki capres yang kuat untuk mengangkat partai,” pungkas Ade.*
Penulis: M. Rain Daling
Editor: M. Rain Daling
Dapatkan update berita pilihan dan terkini setiap hari dari lingkar.co dengan mengaktifkan Notifikasi. Lingkar.co tersedia di Google News, s.id/googlenewslingkar , Kanal Telegram t.me/lingkardotco , dan Play Store https://s.id/lingkarapps