SRAGEN, Lingkar.co – Kebijakan penertiban bangunan atau penggusuran bantaran rel Kalijambe-Sumberlawang membuat pedagang kios di sepanjang jalan tersebut resah.
Salah satu pedagang yakni Nur Hidayat (55) menempati lokasi di bantaran rel kereta wilayah Desa Mojopuro, Kecamatan Sumberlawang sudah menempati lokasi itu sejak 35 tahun lalu.
Nur mengaku, pihaknya kini sudah memiliki kios kelontong dan satu lagi kios mainan anak-anak yang dikelola anaknya.
”Dulu ijin PJKA, boleh bangun tapi tiap bulan harus pajak. Tidak ada perjanjian apa-apa yang penting tiap bulan rutin pajak,” ujarnya.
Baca juga:
Tinjau Simulasi PTM, Beberapa Hal Ini Jadi Evaluasi Bupati Sragen
Penggusuran tersebut menyisakan pertanyaan, Nur dan pemilik toko yang lain merasa ada yang janggal dengan kebijakan tersebut.
Pedagang Pertanyakan Retribusi yang Telah Mereka Bayar
“Jika ternyata lokasi ini ilegal, justru yang menjadi pertanyaan, kenapa mereka biarkan beroperasi bertahun-tahun. Lalu retribusi yang selama ini kami bayar disetorkan kemana,” Tanya Nur.
Ia mengaku dulu sudah ada penarikan retribusi, yang menurutnya satu bulan jumlahnya berkisar hingga Rp 200.000, namun di tahun 2016 retribsi tersebut berhenti.
Pihaknya berharap pemerintah tidak buru-buru membongkar. Apalagi dirinya belum mendapat ganti lokasi untuk berdagang.
Baca juga:
Pasca Bom Makasar, Polres Sragen Tingkatkan Keamanan Gereja dan Masjid
Sementara pengusaha cucian motor yang menempati lahan bantaran rel kereta Muhammad Rokhim (40) segera menyelesaikan kontraknya yang tinggal dua bulan.
Pihaknya mengaku tidak setuju untuk penggusuran tersebut. Menurutnya ketika rapat dengan Pemerintah Kabupaten Sragen lalu terkesan hanya keputusan sepihak.
”Kalau di sekitar Kalijambe permasalahan genangan aliran air saja. Menurut saya ketika rapat lalu hanya kesepakatan sepihak,” bebernya.
Baca juga:
Kapolres dan PJU Polres Sragen Nyatakan Jadi Orang Tua Asuh Pelajar Asal Papua di Sragen
Ia menyampaikan air yang sampai ke jalan tersebut bukan persoalan baru. Sudah sejak lama ketika hujan cukup lebat bisa menggenangi jalan sampai sejengkal.
Dengan kondisi seperti ini pihaknya harus mencari lokasi lain untuk usahanya. Rokhim sendiri sudah hampir 3 tahun menyewa lokasi itu dengan biaya Rp 7 juta per tahun.
Kebijakan Penggusuran Sudah Sesuai Prosedur
Sementara Sekretaris Daerah (Sekda) Sragen Tatag Prabawanto menyampaikan, dalam kebijakan penggusuran bantaran rel Kalijambe-Sumberlawang, setidaknya ada 336 bangunan yang memang tidak selayaknya berada di zona tersebut.
”Mulai hari ini bisa dibongkar, sukur-sukur sudah mulai. Sampai 31 Desember semua bangunan harus sudah bersih,” ujar.
Baca juga:
Wisata Candi Cetho Di Karanganyar Ini Mirip Di Pulau Bali
Kebijakan tersebut menurutnya sudah sesuai prosedur, dengan mengirim surat peringatan dan sebagainya. Kebijakan tersebut tentu bukan tanpa resiko.
Meski sudah ada yang membayar untuk menempati zona tersebut, namun Tatag menegaskan bukan urusan pemkab Sragen terkait hal tersebut.
“Untuk permintaan relokasi ke tempat yang baru, kami masih coba mengupayakan”, pungkas Sekda Tatag. (fid/luh)