A. Pendahuluan
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) adalah partai Islam tertua di Indonesia, lahir dari fusi politik pasca Orde Baru. Namun, Pemilu 2024 menjadi tamparan keras: PPP gagal melampaui ambang batas parlemen 4% sehingga kehilangan kursi di DPR RI.
Kekalahan ini bukan sekadar soal angka elektoral, melainkan cermin krisis representasi sekaligus kegagalan struktural dalam tubuh partai. Hilangnya kursi di Senayan menjadi alarm keras: publik semakin kehilangan kepercayaan, sementara kepemimpinan partai terjebak dalam stagnasi.
Robert Michels (1915) dalam Political Parties menyebut fenomena ini sebagai “iron law of oligarchy” — hukum besi oligarki. Setiap partai rentan dikuasai segelintir elit yang sibuk mempertahankan status quo demi kepentingan pribadi, bukan demi kepentingan rakyat.
Karena itu, kegagalan PPP di 2024 seharusnya dibaca sebagai momentum revolusi. Bukan sekadar evaluasi prosedural, melainkan revolusi konstitusional: langkah fundamental untuk melawan status quo, menata ulang arah, dan melahirkan kepemimpinan yang lebih demokratis, profesional, serta responsif.
B. Status Quo dalam Tubuh PPP
Kondisi darurat seperti sekarang tidak bisa disembuhkan dengan tambal sulam strategi politik. PPP membutuhkan revolusi internal. Ada beberapa wajah status quo yang selama ini membelenggu:
• Elitisasi Kepemimpinan – rekrutmen politik lebih mengutamakan kedekatan personal dan loyalitas daripada kemampuan.
• Fragmentasi Internal – konflik antar kubu melemahkan konsolidasi, membuat partai rapuh menghadapi kompetisi (Liddle & Mujani, 2007).
• Stagnasi Ideologi – gagasan Islam politik yang ditawarkan sering normatif dan kurang menyentuh isu kontemporer seperti digitalisasi, lingkungan hidup, atau kesetaraan gender.
• Minim Regenerasi – ruang bagi kader muda dan profesional terbatas, sehingga PPP kehilangan daya tarik bagi generasi milenial dan Gen Z.
Jika pola lama ini terus dipertahankan, PPP hanya akan semakin terpinggirkan.
C. Makna Revolusi Konstitusional PPP
Revolusi bukan berarti kekacauan, melainkan pembaruan konstitusional dan kultural. Samuel Huntington (1968) dalam Political Order in Changing Societies menegaskan: stabilitas politik justru membutuhkan reformasi institusional agar partai tidak kehilangan legitimasi.
Bagi PPP, revolusi berarti:
• Demokratisasi Kepemimpinan – pemilihan ketua umum harus transparan, akuntabel, dan berbasis meritokrasi.
• Reformasi Ideologi – Islam moderat harus menjadi inspirasi nyata kebijakan publik, bukan sekadar slogan politik.
• Kaderisasi Terstruktur – membuka ruang partisipasi santri, akademisi, aktivis, dan profesional muda dalam politik.
Revolusi ini harus dimulai dari DPC di seluruh Indonesia. DPC sebagai garda terdepan mesti menghidupkan semangat perubahan, mengobarkan komitmen “watawa shoubil haqqi watawa shoubisshobr”. Dengan itu, marwah PPP sebagai rumah besar umat Islam bisa kembali bersinar.
D. Belajar dari Revolusi Partai Dunia
Sejarah politik dunia menunjukkan, partai yang berani merombak diri mampu bangkit kembali:
• Labour Party (Inggris) – hampir runtuh di era 1980-an, bangkit lewat konsep New Labour di bawah Tony Blair (Giddens, 1998).
• AKP (Turki) – lahir dari kegagalan partai Islam sebelumnya, sukses melakukan modernisasi ideologi hingga meraih dukungan mayoritas (Yavuz, 2009).
• Democratic Party of Japan (DPJ) – berani menawarkan wajah baru politik Jepang, hingga berhasil mematahkan dominasi LDP selama puluhan tahun (Stockwin, 2021).
Pesannya jelas: partai yang berani berubah secara rasional bisa merebut kembali kepercayaan publik, bahkan memenangkan pertempuran politik.
E. Agenda Perubahan Kepemimpinan PPP
Revolusi hanya bermakna jika ditopang agenda konkret. Ada lima langkah yang mendesak dilakukan:
• Kepemimpinan Kolektif-Profesional – menghindari oligarki, menjadikan kompetensi dan integritas sebagai standar utama.
• Desentralisasi Partai – memberi peran lebih besar pada DPW dan DPC sebagai pusat dinamika politik, bukan sekadar subordinat DPP.
• Digitalisasi Politik – memanfaatkan media sosial, big data, dan teknologi digital untuk membangun komunikasi publik yang efektif (Chadwick, 2017).
• Rebranding Ideologi – Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin diwujudkan dalam program nyata: ekonomi hijau, keadilan sosial, dan inklusivitas.
• Koalisi Akar Rumput – menjalin sinergi dengan pesantren, UMKM, ormas Islam, dan gerakan sosial di tingkat lokal.
Tanpa keberanian melakukan perubahan, PPP akan semakin terpinggirkan. Tetapi bila revolusi konstitusional ditempuh dengan sungguh-sungguh, partai ini bisa melahirkan kepemimpinan baru yang demokratis, profesional, dan berakar kuat pada rakyat. (*)
Penulis: Agus Mahfud (Ketua Pengkaderan PPP Pati)