Site icon Lingkar.co

Sempat Vakum, Gelar GEMA 2025 dengan Semangat Berbeda

Sempat Vakum, Gelar GEMA 2025 dengan Semangat Berbeda

Sempat Vakum, Gelar GEMA 2025 dengan Semangat Berbeda. Foto: istimewa

Lingkar.co – Mahasiswa Teknik Geologi Universitas Diponegoro menggelar Geological Event of Magmadipa (GEMA) 2025 di auditorium Prof. Dr. Soedharto, Jum’at (28/11/2025). Sempat vakum pada masa pandemi lalu, para mahasiswa kembali dengan semangat yang berbeda.

Mereka berharap kegiatan ini melahirkan geosaintis muda yang adaptif, kritis, dan visioner. Ilmuwan muda yang memperkuat hubungan akademisi dan industri. Memperluas pemahaman publik mengenai geologi dan lingkungan. Serta mempersiapkan generasi Indonesia menghadapi era energi bersih.

Ketua Pelaksana GEMA 2025, Fayyad Yaqfi menuturkan, komunitasnya merasa resah dengan reduksi pemahaman publik tentang peran geolog yang digambarkan hanya pada bebatuan, dan fosil. Padahal publik sering kali geger bicara soal isu lingkungan dan pertambangan yang tak lepas dari geologi.

“Padahal geolog bukan hanya mencari batu. Kami ini mencari jawaban untuk kebutuhan masyarakat,” tukasnya.

Maka dari itu, dirinya menyatakan kegiatan tersebut bukan sebatas formalitas. Nalik lebih dari itu sebagai upaya membangkitkan ilmu bumi, “Ini bukan sekadar acara. Ini semacam kebangkitan. Baik bagi kami, maupun bagi ilmu kebumian di Indonesia,” tandasnya.

Di tengah isu lingkungan, lanjutnya, konflik tambang, hingga transisi energi, mahasiswa geologi kini dituntut mampu membaca bumi sekaligus membaca zaman.

Karena itulah tema GEMA tahun ini mengambil judul ‘Resurgence of the Earthminds: Awakening Scientific Curiosity Beneath the Crust’ menekankan pentingnya membangkitkan kembali rasa ingin tahu ilmiah.

Ia melanjutkan, persoalan pertambangan kerap dikaitkan dengan kerusakan ekosistem. Karena itulah GEMA tahun ini menekankan good mining practice dan keberlanjutan.

“Mahasiswa geologi harus paham bahwa geologi bukan cuma mengambil mineral, tetapi bertanggung jawab mengembalikan alam pasca-eksploitasi,” kata Fayyad.

Ia menyontohkan, penanganan air asam tambang (AAT), reklamasi lahan bekas tambang, batasan eksploitasi di kawasan konservasi, evaluasi geohazard sebelum dan sesudah tambang.

“Kita belajar dari kasus-kasus seperti salah satu tambang di Raja Ampat. Tidak boleh sembarangan. Ada regulasi, ada etika,” ujarnya.

Seminar nasional menghadirkan pakar yang kompeten. Yakni; Ir. Muhammad Tressna Gandapradana, S.T., M.Sc., MAusIMM, ahli mineral dan pertambangan dan Dr. Eng. Iwan Setiawan, Kepala Pusat Riset Sumber Daya Geologi BRIN.

Material Teknologi Modern

Salah satu topik yang paling menyita perhatian adalah Rare Earth Elements (REE) atau logam tanah jarang, material yang menjadi tulang punggung teknologi modern, mulai dari mobil listrik, magnet turbin angin, baterai, hingga perangkat elektronik.

“REE itu jarang dibahas,” ujar Afriza Hiddan, mahasiswa Geologi Undip angkatan 2022, yang duduk di barisan peserta seminar.

“Padahal logam tanah jarang bakal jadi rebutan dunia. Sangat berani kalau GEMA memilih tema ini,” tuturnya.

Afriza mengaku materi REE baru ia dengar sekilas di mata kuliah geokimia, “Di kampus cuma diperkenalkan. Di sini baru paham betapa strategisnya peran geolog dalam transisi energi,” katanya.

REE seperti lantanida, thorium, dan uranium memiliki keterdapatan rendah, ekstraksi rumit, namun sangat dibutuhkan industri. Sementara Indonesia memiliki potensi besar REE dari mineral monasit dan pasir timah, terutama di Bangka Belitung dan Kalimantan Barat, potensi yang hingga kini masih minim dieksplorasi optimal. (*)

Penulis: Husni Muso

Editor: Ahmad Rifqi Hidayat

Exit mobile version