Lingkar.co – Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW) Iskandar Sitorus mengatakan, pihaknya tidak sekedar memberikan kritik terhadap dugaan kejahatan ekonomi digital yang dilakukan oleh provider berlisensi yang merugikan pelanggan secara sistematis.
“IAW bukan baru bicara hari ini. Kritiknya panjang, tersistematik, dan terdokumentasi,” kata Iskandar dalam keterangan tertulisnya, Kamis (20/11/2025).
Ia lantas membeb, pada fase awal 2022 ada diskusi terkait transparansi telekomunikasi mengenai kuota hangus dengan komunitas jurnalis di restoran Muse Makassar, Blok M, Jakarta Selatan.
“IAW telah melayangkan pengaduan masyarakat ke Bareskrim Mabes Polri tanggal 21 September 2022, mengidentifikasi celah pelanggaran PSAK (Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan) tahun 23 dan ungkap ‘Fraud by Omission‘ (pelanggaran negara karena pembiaran). Mendefinisikan kuota hangus sebagai penghilangan informasi material. Menyertakan dokumen teknis analisis sistem billing seluruh operator dan sebut dugaan oligopoli telekomunikasi,” paparnya.
Iskandar juga menyebut anggota Komisi I DPR RI, Okta Kumala Dewi, secara resmi membahas temuan IAW tentang kerugian kuota hangus yang mencapai Rp63 triliun pada Juni 2025. Angka tersebut dikatakan sebagai data awal yang kini terbukti konservatif.
“IAW secara resmi melayangkan tiga surat kritikan kepada Bursa Efek Indonesia (BEI) pada 15 Juli 2025. Surat pertama secara khusus mendesak BEI (Bursa Efek Indonesia);untuk bertindak atas tidak diungkapnya nilai kuota hangus yang mencapai triliunan rupiah per tahun dalam laporan keuangan emiten telekomunikasi,” sebutnya.
Ia melanjutkan, IAW juga mempertanyakan kinerja pengawasan BEI dan menegaskan bahwa praktik ini berpotensi melanggar prinsip materialitas dalam PSAK 23 dan Standar Pelaporan Keuangan Internasional atau IFRS 15. Surat ini juga mendorong BEI untuk mewajibkan transparansi nilai transaksi kuota hangus serta membuka peluang restitusi publik dan gugatan class action bagi konsumen yang dirugikan. Sayangnya sampai sekarang BEI belum memberi respon yang seharusnya, apalagi buah kinerja mereka.
Ia menegaskan, kritik IAW dapat diverifikasi dengan baik dan memiliki dasar yang kuat, jejak advokasi yang sistematis inilah yang kini memberikan pemahaman bahwa rilis paket anti-hangus oleh provider dapat dilihat sebagai sebuah pengakuan tidak langsung atas kejahatan ekonomi digital.
Fakta bahwa kritik IAW telah mendahului inovasi provider saat ini terkait anti-hangus, itu mengubah inovasi tersebut dari sekadar ‘produk baru’ menjadi sebuah bukti pengakuan (admission by conduct) terhadap kebenaran yang selama ini disebut IAW, “Hal ini memperkuat argumen bahwa hangusnya kuota adalah pilihan bisnis, bukan keterpaksaan teknis,” tandasnya.
“Jika industri mengaku baru menyempurnakan layanan pada 2025, maka IAW tetap menyampaikan isu ini secara konsisten sampai perubahan nyata dilakukan oleh para provider!,” tegasnya.
Kerugian Publik dan Negara 2010-2025
Iskandar Sitorus memaparkan, menggunakan formula konservatif 200 juta pelanggan dengan belanja kuota rata-rata Rp25.000 dan toleransi 10% kuota hangus, maka terhitung pada kisaran tidak berlebih dari Rp613 triliun hilang dalam 15 tahun.
“Kerugian itu meliputi kerugian konsumen, karena nilai hak digital hilang. Kedua, kerugian negara, PPN dihitung atas nilai penuh tetapi manfaat tidak diberikan. Ada potensi misleading revenue recognition,” jelasnya.
Ia bilang, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) spektrum tidak mencerminkan pemanfaatan aktual. Sedangkan potensi penyimpangan pajak korporasi akibat pengakuan pendapatan tidak akurat
“Kerugian tata kelola industri, sebab hilangnya transparansi revenue. Tidak dicatat sebagai liabilitas (utang jasa). Mengarah pada fraud by omission kelas korporasi,” bebernya.
Ia menuding, provider bahkan tidak pernah mengungkap nilai kuota hangus dalam laporan keuangan, padahal hal itu bersifat material, “PSAK 23 dan IFRS 15 mewajibkan pengungkapan pendapatan diterima di muka yang belum diberikan manfaatnya. Kuota hangus adalah manfaat yang tidak diberikan,” tandasnya.
Maka dari itu menurut dia, provider melanggar pasal 20 UU Perlindungan Konsumen, pasal 1365 KUHPerdata, perbuatan melawam hukum (PMH), pasal 3 UU Tipikor, karena memperkaya korporasi dengan merugikan rakyat.
Ia lanjut menerangkan, pasal 4 UU Konsumen menyebut hak atas manfaat barang/jasa, pasal 1338 KUHPerdata mengatur tentang itikad baik, dan pasal 1457 KUHPerdata mengatur tentang jual beli, “Kuota yang sudah dibayar sama dengan hak milik digital yang wajib diberikan penuh,” tegasnya.
Ia menilai, sejumlah pihak patut dimintai pertanggung jawaban, dari direksi para operator, karena kebijakan kuota hangus adalah keputusan model bisnis. Kemudian komisaris dan Komite Audit, sebab tidak menjalankan fungsi pengawasan liabilitas digital. Juga auditor eksternal karena selama 15 tahun tidak pernah meminta pengungkapan nilai kuota hangus.
Tak hanya itu, Kominfo dan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) selaku regulator juga harus diminta pertanggungjawaban dengan alasan membiarkan fenomena yang bertentangan dengan hak ekonomi publik.
“Jika PNBP dan pajak tidak mencerminkan kondisi riil, maka itu sama saja dengan negara dirugikan!,” tukasnya.
Untuk itu, ia meminta audit investigatif BPK terhadap Kominfo dan BRTI serta provider berlisensi negara dari tahun 2010–2024 untuk menghitung liabilitas digital yang tidak pernah dicatat. Kemudian menerbitkan Perppu Perlindungan Konsumen Digital guna memastikan kuota adalah hak milik digital.
Ia juga berharap, perpanjangan masa aktif atau rollover wajib nasional dengan aturan kompensasi otomatis, dan class action nasional oleh publik.
“IAW juag minta dibentuk Satgas Tipikor Digital (KPK–Kejagung) guna menelisik potensi pasal 3 UU Tipikor, dan revisi total Permen Kominfo 5/2021,” tegasnya. (*)
Penulis: Ahmad Rifqi Hidayat
