20 Tahun Pasca Tsunami, Meunasah Wakaf Warga Semarang Tetap Jadi Tempat Ibadah dan Belajar Umat Islam Aceh

20 Tahun Pasca Tsunami Aceh, Meunasah Wakaf Warga Semarang Tetap Jadi Tempat Ibadah dan Belajar Umat Islam
20 Tahun Pasca Tsunami, Meunasah Wakaf Warga Semarang Tetap Jadi Tempat Ibadah dan Belajar Umat Islam Aceh. Foto: dokumentasi

Lingkar.co – Meunasah merupakan sebuah bangunan yang hanya ada di Aceh, biasa digunakan untuk salat rawatib, menggelar majlis taklim dan madrasah diniyah (sekolah keagamaan). Tak disangka, Meunasah ini masih berfungsi selama 20 tahun pasca gempa bumi dan Tsunami Samudra Hindia 2004 yang melanda Aceh pada Minggu 26 Desember 2004 silam.

Bencana alam gempa dan tsunami yang menghancurkan ‘Serambi Mekkah’ ini memberikan kenangan tersendiri bagi semua relawan kemanusiaan, termasuk keluarga besar Palang Merah Indonesia (PMI) Kota Semarang.

Menurut Dr dr Budi Laksono MHSc yang saat itu menjadi pengurus PMI Kota Semarang, salah satu hal yang paling berkesan adalah karena mendirikan Meunasah yang tetap berdiri dengan tegak dan tetap berfungsi sebagaimana mestinya. Padahal hunian sementara (Huntara) telah ditinggal ke rumah tetap.

“Masjid utuh, rumah ditinggali tahun 2005 Februari dengan pindah dari tenda ke Huntara. Dan tahun 2009, rumah huntara ditinggal pindah ke rumah tetap dari negara lewat bantuan dunia,” kata dokter Budi saat dikonfirmasi Lingkar.co pada Selasa (31/12/2024)

“Kini, 2024, 20 tahun pasca tsunami, jejak Huntara masih ada bagai museum sejarah indah cinta kasih sesama anak bangsa,” imbuhnya.

Meunasah PMI Wakaf Warga Semarang

Budi masih terkenang ketika para relawan sibuk membuat Huntara, ada usulan juga untuk membuat juga meunasah atau masjid. “Teringat akan mulianya membuat tempat ibadah, maka langsung saya setujui. Apalagi, di desa, kami didampingi pak Arsyad yang ahli kayu,” ungkapnya.

Bekerja dalam kondisi darurat, hal pertama yang ia lakukan untuk membuat pondasi dengan bahan seadanya. Ia melihat banyak paralon ukuran besar berukuran sekitar 20 inci sisa PDAM yang hancur oleh tsunami. “Maka saya usulkan tim yang dipimpin oleh Pak Arsyad agar menggunakan ini untuk kaki. Kami memotong paralon besar itu 2 meteran. Lalu membuat tiang pondasi,” urainya.

Namun, ditengah membuat pondasi, di desa kedatangan tamu dari tim pemburu air (Tim yang fokusnya membantu memperbaiki sumur) dari purwokerto yang salah satu anggotanya dosen agama dan ahli falak.