Site icon Lingkar.co

Aktivis Difabel Apresiasi Rumah Kerja PPP

Aktivis difabel Surya Sahetapy yang juga merupakan penyandang disabilitas rungu saat memberikan materi dalam diskusi PPP Ramah Difabel. Muhammad Nurseha/Lingkar.co

Aktivis difabel Surya Sahetapy yang juga merupakan penyandang disabilitas rungu saat memberikan materi dalam diskusi PPP Ramah Difabel. Muhammad Nurseha/Lingkar.co

JAKARTA, Lingkar.co – Aktivis Difabel Surya Sahetapy mengapresiasi peremsmian Rumah Kerja PPP untuk kaum difabel atau penyandang disabilitas. Menurutnya, penyandang difabel punya hak dan kesempatan yang sama untuk berkontribusi dalam pembangunan bangsa.

“Saya senang sekali terlibat dalam acara ini,. Mudah-mudahan kita bisa kerjasama dan semoga Indonesia bisa ramah difabel,” ungkap Surya dalam acara diskusi “PPP Ramah Difabel” sekaligus peresmian Rumah Kerja Difabel, Sabtu (4/12/2021).

Menurutnya, sesorang di sebut difabel bukan karena soal fisik semata, melainkan karena factor lingkungan sosial yang tidak mengakomodir. Jika di lihat dari segi fisik, ia mengaku masih bisa melakukan pekerjaan seperti orang pada umumnya.

“Saya tuli, namun saya tidak merasa seperti orang tuli. Saya bisa menelpon orang, bisa ngobrol dengan orang,” katanya.

Baca Juga :
Gus Yasin Minta Pembaruan Data Kemiskinan, Galakkan Program Satu Desa Binaan Satu OPD

Surya mengaku, saat ini diri nya sedang memperjuangkan bahasa isyarat untuk menjadi bahasa resmi di Indonesia.

Atau minimal masuk dalam kurikulum sekolah. Sebab menurutnya, di beberapa negara bahasa isyarat sudah menjadi bahasa resmi Negara, salah satunya di Filipina.

“Bahasa isyarat ini harus di tunjukkan karena itu bagian dari edukasi, banyak sekali masyarakat bertambah untuk belajar bahasa isyarat di dunia, karena mereka sadar baahsa isyarat itu penting,” imbuhnya.

Peneliti: Penyandang Difabel Punya Hak Politik, Memilih atau Dipilih

Pemateri lainnya, Peneliti Perludem Nur Amelia mengatakan, saatr ini regulasi perundang-undangan maupun peraturan sudah sangat kuat menjamin kesetaraan hak politik penyandang difabel.

“Teman-teman difabel bisa bereperan di pemerintahan, punya hak politik untuk memilih, di pilih atupun aspirasi politik sudah bisa tersalurkan, karena demokrasi adalah tentang kesetaraan,” tuturnya.

Kendati demikian, hak memilih dan di pilih penyandang difabel masih mengalami tantangan. Hal itu terlihat pada Pemilu 2019 dan dan pilkada. Amelia menilai pendataan pemilih penyandang difabel masih belum akurat.

“Hak pilih difabel mental di pertanyakan, dan tidak tersedia surat suara dengan huruf braile untuk pemilu Presiden, DPD dan Pilkada,” tuturnya.

Menurutnya, perlindungan hak politik penyandang difabel sangat di perlukan untuk menciptakan partisipasi demokrasi yang lebih luas.

“Oleh sebab itu, partai politik harus mengagregasi kepentingan mereka untuk agenda politik dan mengembangkan kebijakan program pemerintah,” tegasnya.

Penulis : Muhammad Nurseha

Exit mobile version