Termasuk dalam mengurus persoalan sampah. Ia juga mengakui keluarga tidak merasa terganggu dengan tumpukan sampah plastik yang dikirim oleh warga sekitar. “Memang bank sampah ini awalnya kan di depan rumah, dekat garasi mobil,” ungkapnya.
Namun, Aniqoh bilang aktivitas ibu-ibu pengelola bank sampah semakin meningkat sehingga dirinya harus mencari lokasi baru. “Akhirnya ini ada lahan milik mertua yang masih kosong, kemudian mertua dan suami membantu pendirian bank sampah yang cukup luas,” urainya.
Untuk bisa mengelola dengan lebih baik, ia pun berusaha mencari tempat belajar hingga diterima mengikuti pelatihan yang diadakan oleh USAID. “Sampai selanjutnya juga belajar tentang budidaya maggot, ini sangat efektif untuk mengurangi sampah organik,” katanya.
Aniqoh lalu menjelaskan, maggot merupakan belatung dari jenis lalat tertentu. Maggot cukup serakah dalam urusan makan. “Jadi kita kan sering melihat sampah organik juga menjadi masalah. Maggot ini bisa jadi solusi. Bahkan bisa juga untuk mendukung peternakan ayam,” paparnya.
Ia mendirikan rumah maggot di depan bank sampah. Di ruang berukuran kecil itu ada 2 kandang ayam, 2 bak (kolam untuk pembesaran manggot, dan 1 kandang jaring untuk pembibitan manggot.
Dari situlah sampah organik menjadi sebuah siklus kecil yang mana kotoran ayam dimakan oleh maggot, dan maggot jadi pakan ayam. “Jadi bukan hanya sayuran atau buah busuk saja yang dimakan oleh maggot. Kemudian telur ayam dan ayamnya juga kita konsumsi,” terangnya.
Ketua 1 Pimpinan Cabang (PC) Fatayat NU Kota Semarang ini melanjutkan, pemuda sekitar juga sering memanfaatkan maggot’ untuk umpan memancing. “Sebenarnya maggot juga bisa dijual untuk pakan ternak, sudah banyak yang jual, tapi di sini belum bisa karena hanya cukup untuk siklus kecil dan kadang diminta pemuda sini untuk umpan mancing,” bebernya.
Di lokasi tersebut juga dikembangkan drum berisi ikan lele dan tanaman sayuran. Sebuah inovasi dari aquaponik yang mana tanaman sayuran menyerap air dan gizi dari pupuk kotoran lele. “Lele ini juga makan maggot, tanaman sayuran ini lebih kuat terhadap hama ketika menyerap air dari lele yang memakan maggot,” jelasnya.

Terkait menularkan pengalaman itu terhadap sesama anggota Fatayat NU, dirinya menyatakan terbuka untuk siapa saja yang ingin belajar budidaya maggot dan mengolah sampah. “Sudah ada Fatayat dari luar kota Semarang ke sini, tapi ya itu cuma sehari saja dan tidak ada kelanjutannya. Ini memang butuh tenaga khusus, orang yang telaten dan tidak jijik dengan maggot,” kata dia.
Kendati demikian, ia tetap berharap agar para kader atau santri NU ikut mengambil peran dalam mengurus limbah rumah tangga. “Ya harapannya tetap harus ada kader NU atau santri yang bisa berkiprah di bidang lingkungan seperti budidaya maggot ini karena dari hal kecil ini dampaknya cukup besar, bisa mengurangi polusi udara, bisa menjaga kelestarian lingkungan, mencegah atau mengurangi potensi banjir, punya nilai jual yang sebenarnya cukup kalau ditelateni,” pungkasnya. (*)
Penulis: Ahmad Rifqi Hidayat