Lingkar.co – Beredar panduan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Tengah terkait haram memilih pemimpin tak seakidah di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024.
Kabar itu beredar dari surat yang dikeluarkan melalui Focus Group Discussion (FGD) Komisi Fatwa MUI Jawa Tengah pada Sabtu (23/11/2024) di Pondok Pesantren Fadhlul Fadhlan, Kota Semarang.
Surat tersebut merujuk pada Tausiah Kebangsaan Majelis Ulama Indonesia terkait Pemilihan Kepala Daerah Serentak 2024 dengan nomor: Kep-74/DP-MUI/XI/2024. Dalam surat ini, MUI Jawa Tengah menyampaikan tiga poin utama yang berkaitan dengan hak dan kewajiban umat Islam dalam memilih pemimpin:
Poin pertama adalah memilih dalam Pemilihan Umum adalah hak konstitusional demikian juga menggunakan hak pilih berdasarkan kecenderungan agama, suku, dan kelompok.
Yang kedua umat islam wajib memilih calon pemimpin yang seakidah, amanah, jujur, terpercaya, serta memperjuangkan kepentingan dan syiar Islam.
Dan terakhir yakni memilih pemimpin yang tidak seakidah atau sengaja tidak memilih padahal ada calon yang seakidah hukumnya haram.
Surat ini ditandatangani oleh Ketua Komisi Fatwa MUI Jawa Tengah, Dr. KH. Fadlolan Musyaffa’, Lc., MA., dan Sekretaris, Prof. Dr. KH. Ahmad Izzuddin, M.Ag. Selain itu, Ketua Dewan Pimpinan MUI Jawa Tengah, Dr. KH. Ahmad Darodji, M.Si. dan Sekretaris, Drs. KH. Muhyiddin, M.Ag., turut membubuhkan tanda tangan pada surat tersebut.
Menanggapi hal ini, Ketua Komisi Fatwa MUI Jawa Tengah, Dr. KH. Fadlolan Musyaffa’, Lc., MA., mengatakan jika ketiga poin itu bukanlah fatwa atau keputusan dari MUI Jateng. Melainkan penegasan hasil tausyiah atau Forum Grup Discussion (FGD) turunan dari MUI Pusat.
“Kita hanya menegaskan penyambung lidah yang MUI Pusat itu karena sudah ada tausyiah pusat maka kita hanya menegaskan untuk poinnya saja. Jadi MUI Jateng tidak mengeluarkan fatwa itu hanya FGD saja kemudian hasilnya menegaskan dari tausyiah MUI Pusat,” ujarnya.
Ia mengakui jika setiap warga negara memang berhak menentukan pilihan politiknya. Hanya saja, ia mengingatkan di dalam ajaran islam tidak boleh orang seorang muslim memilih pemimpin yang non muslim.
“Disamping sebagai warga negara juga sebagai pengikut agama. Ya sama seperti pengikut agama lain mereka harus taat aturan agama ya kristen, hindu, budha ya begitu islam pun juga memiliki kewajiban taat kepada agama. Maka kita semua ikut rambu-rambu syariat kita masing-masing,” katanya.
“Yang muslim ikut syariat islam yang non muslim juga mengikuti agama mereka sehingga sebagai rakyat itu kita punya kewajiban kepada negara dan agama,” tandasnya. (*)
Penulis: Ahmad Rifqi Hidayat