Lingkar.co – Pabrik Semen Indonesia di Rembang resmi berhenti beroperasi sejak 1 Juni 2025 setelah lebih dari satu dekade penuh kontroversi dan perlawanan masyarakat. Jurnalis sekaligus pembuat film dokumenter, Dandhy Laksono, menyoroti bahwa pabrik semen ini sejak lama menghadapi masalah besar.
“Sejak 11 tahun lalu, data sudah menunjukkan pabrik ini tak akan lama karena perlawanan petani Kendeng membuat mereka kesulitan menambang bahan baku,” ujarnya, dalam sebuah pernyataan tertulis di X.
Dandhy juga menambahkan bahwa pabrik tetap dipaksakan beroperasi karena sudah memiliki utang besar sebesar Rp 4,4 triliun rupiah dari Mandiri dan BNI. Meskipun terjadi surplus semen nasional hingga 10 juta ton per tahun.
Menurut Dandhy, pemerintah pada awal rezim Jokowi mempertahankan proyek ini agar tidak kehilangan muka, mengingat kekalahan pabrik semen di Pati yang juga digagalkan oleh petani pada 2009 menjadi preseden yang dikhawatirkan menginspirasi perlawanan di lokasi lain.
“Jadilah pendirian pabrik ini dipaksakan secara bisnis,” ujarnya.
Skandal hukum juga menjadi sorotan dalam narasi Dandhy. la mengungkap bahwa meski petani menang hingga tingkat Mahkamah Agung, pembangunan pabrik tetap dilanjutkan melalui penerbitan izin baru oleh Gubernur Jawa Tengah saat itu, Ganjar Pranowo.
“Ganjar Pranowo melakukan pemelintiran hukum dengan mengeluarkan izin baru hanya karena nama Semen Gresik sudah berganti Semen Indonesia,” katanya.
Dandhy menyebut bahwa negara mengerahkan berbagai cara, termasuk tekanan politik, kriminalisasi, hingga pengerahan buzzer. Bahkan, tokoh-tokoh nasional seperti bekas Kepala BIN Sutiyoso dan Imam Besar Masjid Istiqlal Nasaruddin Umar (sekarang Menteri Agama) turut dilibatkan sebagai komisaris perusahaan.
“Pensiunan jenderal ini mendatangi rumah petani yang menolak. Salah satunya petani cabai bernama Joko Prianto,” ungkapnya.
“Sebesar itu usaha politik dan hukum yang dikerahkan negara untuk proyek ini,” imbuhnya.
Ia juga menegaskan bahwa arasi pabrik tutup gara-gara blokade jalan desa tidak masuk akal dan berpotensi mengadu domba masyarakat antara pekerja pabrik dan petani.
“Faktanya, jalan desa itu sendiri tidak benar-benar ditutup alias disisakan beberapa meter cukup untuk truk lalu-lalang mengangkut bahan baku,” katanya.
Dandhy berharap agar para pekerja yang dirumahkan segera mendapatkan pekerjaan baru dan lingkungan Pegunungan Kendeng dapat lestari.
“Semoga yang di-PHK segera mendapat pekerjaan baru dan alam Kendeng semakin lestari hingga bisa menghidupi orang lebih banyak lagi,” tutupnya. (*)