Dialog Buruh dan Dewan, Usulan UMK Semarang 2026 Naik ke Rp4,1 Juta Dibahas Tanpa Aksi Jalanan

Dialog Dewan dan Buruh terkait usulan UMK di Gedung Paripurna DPRD Kota Semarang. (dok Alan Henry)
Dialog Dewan dan Buruh terkait usulan UMK di Gedung Paripurna DPRD Kota Semarang. (dok Alan Henry)

Lingkar.co — Alih-alih turun ke jalan, perwakilan berbagai serikat pekerja di Kota Semarang memilih jalur dialog. Mereka mendatangi DPRD Kota Semarang, Senin (3/11/2025), untuk membicarakan usulan kenaikan Upah Minimum Kota (UMK) tahun 2026.

Langkah ini menjadi bentuk baru perjuangan buruh mengutamakan ruang duduk bersama dibanding konvoi massa. Mereka berharap aspirasi bisa tersampaikan lewat diskusi konstruktif, bukan benturan di jalan.

Perwakilan Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Jawa Tengah, Sumartono, menyampaikan bahwa usulan kenaikan UMK didasarkan pada hasil hitungan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) plus inflasi dan pertumbuhan ekonomi.

“Dari hasil kajian, UMK 2026 seharusnya berada di kisaran Rp4,1 juta agar bisa menutup kebutuhan pokok buruh di Semarang,” ujarnya.

Menurutnya, selisih upah antara Semarang dan kota besar lain seperti Surabaya dan Bandung masih cukup lebar, padahal biaya hidup di ketiga kota tersebut relatif sebanding.

Selain UMK, serikat pekerja juga mengajukan Upah Minimum Sektoral Kota (UMSK) dengan besaran tambahan berbeda antar sektor Sektor logam, jasa maritim, alat transportasi +6%, Sektor farmasi, tekstil, alas kaki +4%, Sektor agro: +2%.

Ketua Federasi Serikat Pekerja Indonesia Perjuangan (FSPIP) Jateng, Karmanto, menegaskan perjuangan ini bukan untuk menaikkan kesejahteraan secara berlebihan, melainkan menyesuaikan dengan biaya hidup.

“Yang kami perjuangkan sederhana, buruh bisa hidup layak dari hasil kerjanya sendiri,” tegasnya.

Menanggapi hal tersebut, Ketua DPRD Kota Semarang, Kadar Lusman atau Pilus menyambut baik langkah para buruh yang memilih jalur komunikasi. Ia menilai, dialog terbuka seperti ini penting agar tidak terjadi salah persepsi antar pihak.

“Kalau semua punya data sendiri tapi tidak dibicarakan, hasilnya bisa berbeda jauh. DPRD siap memfasilitasi agar kebijakan upah tidak harus diperjuangkan lewat aksi, tapi lewat kajian bersama,” katanya.

DPRD pun akan melibatkan Komisi D, Dinas Tenaga Kerja, Dinas Perindustrian, serta BRIDA untuk menelaah usulan tersebut.

Menurut Pilus, sektor-sektor dengan risiko tinggi seperti logam dan bahan kimia harus mendapat perhatian lebih dalam penetapan upah sektoral. Lingkar.jabar“Karena beban kerja dan risiko tidak sama, maka kebijakannya juga tidak boleh diseragamkan,” ujarnya.

Pertemuan ini diakhiri dengan kesepakatan lanjutan bahwa serikat pekerja dan pemerintah akan bertemu kembali dalam forum tripartit sebelum penetapan UMK 2026.

Langkah ini menjadi sinyal positif, bahwa aspirasi buruh kini tidak selalu identik dengan aksi massa, tapi bisa diperjuangkan lewat ruang rapat yang rasional dan terbuka. ***