GP Ansor Jateng Dukung Imbauan Menag, Jangan Pilih Capres yang Pernah Gunakan Agama Sebagai Alat Politik

Ketua GP Ansor Jawa Tengah, Sholahuddin Aly (kanan) bersama Menang RI, Yaqut Cholil Qaumas dalam sebuah kesempatan. Foto: istimewa

Lingkar.co – Ketua Pimpinan Wilayah (PW) Gerakan Pemuda (GP) Ansor Jawa Tengah, Sholahuddin Aly mengeluarkan pernyataan yang mendukung penuh imbauan Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas.

Gus Yaqut, sapaan akrab Menang, menyatakan agar masyarakat tidak memilih calon presiden yang pernah menggunakan agama sebagai alat politik.

Namun, pernyataan Menag menjadi polemik dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang telah mendeklarasikan pasangan Anies Baswedan dan Abdul Muhaimin Iskandar (Cak Imin).

Menurut Sholahuddin Aly atau Gus Sholah, pernyataan Menag sudah benar, yakni menekankan pentingnya tidak memilih pemimpin yang menggunakan agama sebagai alat politik.

“Politik identitas merupakan politik ketinggalan jaman, di berbagai negara modern politik identitas sudah ditinggalkan. Karena mereka menyadari tidak bisa berdiri diatas identitas suku ras dan agama,” ungkap Gus Sholah di kantornya, Semarang, Selasa (3/10/2023).

Sebenarnya, katanya, para pendiri bangsa Indonesia memiliki cita-cita yang luhur, dan visi yang jauh kedepan. Komitmen Bangsa Indonesia berada diatas keberagaman. Bahkan menjunjung tinggi perbedaan dalam suku, ras, dan agama.

“Politisi jangan memainkan peran dalam politik identitas, baik berlatar belakang suku, ras, agama, budaya atau kedaerahan. Ini jelas-jelas namanya memecah belah bangsa Indonesia. Mereka sama saja memainkan politik jadul (jaman dulu-red) jauh dari semangat ke-Indonesia-an,” tegasnya.

Ia juga mengingatkan politik identitas berdampak pada perpecahan bangsa Indonesia.

“Memang tujuan awal dari politik identitas hanya untuk mediskriminasikan sosok lawan politiknya saja. Tapi hal itu dapat berkembang menjadi diskriminasi kelompok lain, hal ini berpotensi perpecahan bangsa Indonesia,” ungkapnya.

Dampak perpecahan itu, lanjutnya, tidak akan langsung segera pulih, namun membutuhkan rekonsilaiasi yang panjang dan rasa memaafkan yang lama.

“Politik Identitas itu bagian dari strategi memainkan menanfaatkan perbedaan untuk mencari dukungan dengan rasa primordial. Hal ini yang paling bahaya karena dampak sosial politiknya bisa membekas dan memecah belah bangsa,” ujarnya.

Sebab, menurutnya, permainan politik identitas yang pernah terjadi beberapa kali Pilkada dan Pilpres tidak hanya begitu. Namun lebih dari itu, pelaku politik identitas akan kampanye hitam, berupa hoax, berita bohong dan fitnah.

“Mereka akan memainkan kabar yang tidak baik dengan menghalalkan segala cara dengan mementingkan tujuannya tercapai. Hal ini bukan politik yang elegan dan berkebangsaan,” pungkasnya. (*)

Penulis: Ahmad Rifqi Hidayat