Namun, kata dia, dinamika politik di tubuh PPP mulai menghangat pasca Pilpres 2014 sebab polarisasi politik Koalisi Merah Putih (KMP) yang mengusung Prabowo melawan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang mengusung Joko Widodo berlanjut di Senayan.
“KMP vs KIH yang mempolarisasi parlemen hingga berbulan-bulan tanpa sidang, turut membelah PPP. SDA berhadapan dengan mayoritas Dewan Pimpinan Wilayah,” ujarnya.
Dalam kondisi partai yang terbelah pada dua poros kekuatan, ia yang semula berusaha bermain aman di tengah justru pada akhirnya harus berlawanan arus dengan sang mentor politiknya sekaligus mantan ketua umum.

“Saya yang semula berusaha berada di tengah, didapuk untuk memimpin perlawanan para Ketua DPW yang tidak setuju perpanjangan seteru Pilpres. Ya, SDA adalah Prabowo garis keras. Bahkan almarhum menghadiri kampanye akbar Partai Gerindra di Senayan sesaat sebelum Pemilu 2014 dilaksanakan. Di situ saya merasa sedih. Harus berhadapan dengan mentor dan guru politik saya. Namun itu lah politik,” terangnya.
“Sepanjang 2014-2016, PPP terbelah. Almarhum bersama Djan Faridz. Sementara saya berikut sejumlah senior yang semula bersama SDA, memimpin PPP membersamai pemerintahan Jokowi. Alhamdulilah pada bulan April 2016, terjadi Muktamar Ishlah di Asrama Haji. Hubungan kami pulih,” ujarnya.

“Selamat jalan mas Surya. Selamat jalan sahabat Suryadharma Ali. Saya tak akan menjadi seperti hari ini tanpa bimbingan panjenengan. Kami sangat menyayangimu. Tapi Allah SWT lebih menghendakimu untuk kembali. Semoga Allah SWT mengampuni dosamu, menerima seluruh amal ibadahmu, dan memberikan tempat yang terbaik di sisiNya. Amin,” doanya. (*)
Penulis: Ahmad Rifqi Hidayat
Dapatkan update berita pilihan dan terkini setiap hari dari lingkar.co dengan mengaktifkan Notifikasi. Lingkar.co tersedia di Google News, s.id/googlenewslingkar , Kanal Telegram t.me/lingkardotco , dan Play Store https://s.id/lingkarapps