Lingkar.co – Kenaikan harga pakan ayam, terutama jagung dan bekatul, kian membuat resah para peternak ayam petelur di berbagai daerah. Kondisi ini juga dirasakan peternak yang tergabung dalam Koperasi Peternak Unggas Sejahtera (KPUS).
Ketua KPUS, H. Suwardi, mengungkapkan harga jagung yang menjadi bahan baku utama pakan ayam kini sudah menembus Rp6.500 per kilogram.
“Melonjaknya harga jagung ini tentunya sangat mempengaruhi biaya pakan ayam menjadi lebih mahal. Padahal pemerintah menyatakan kita swasembada beras maupun jagung. Bahkan di luar Pulau Jawa, kata teman-teman peternak dari Padang dan Sumatera Barat, jagung sudah tembus Rp7.000,” ujar Suwardi yang juga Anggota DPRD Kendal dari Partai NasDem, Selasa (12/8/2025).
Tidak hanya jagung, harga bekatul atau dedak juga ikut meroket. Isu beras oplosan membuat banyak penggilingan gabah menghentikan operasi, sehingga pasokan bekatul berkurang.
“Hal ini menyebabkan harga bekatul naik karena pasokannya berkurang akibat berkurangnya aktivitas penggilingan gabah. Harga bekatul yang sebelumnya Rp3.000 sekarang naik menjadi Rp5.000. Ini sungguh ironi dengan data yang ada,” beber Suwardi.
Kenaikan harga pakan ini semakin memberatkan peternak, apalagi harga telur ayam saat ini masih stagnan di kisaran Rp24.000 per kilogram, di bawah Harga Pokok Penjualan (HPP) yang ditetapkan pemerintah.
Menyikapi kondisi ini, Suwardi bersama KPUS menggelar konsolidasi untuk mencari solusi. Para peternak mendesak pemerintah segera mengoptimalkan Cadangan Jagung Pemerintah (CJP) melalui Bulog.
“Yang kedua, memohon pemerintah untuk penyesuaian agar peraturan HPP telur dievaluasi sesuai kondisi harga bahan baku pakan saat ini,” tegasnya.
Suwardi juga berharap program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) jagung segera direalisasikan untuk mencegah kepanikan peternak skala kecil.
“Jagung SPHP ini untuk menjaga kepanikan peternak skala kecil, salah satunya anggota KPUS yang di Jawa Tengah ada 1.767 peternak, khusus Kendal 867 peternak. Harapannya, peternak-peternak kecil tetap bisa bertahan sehingga produksi telur yang sudah swasembada tetap terjaga,” pungkasnya. ***
Penulis : Yoedhi W