Lingkar.co – Direktur Eksekutif Y-Publica, Rudi Hartono menganalisa hasil survei yang ia lakukan pada 7-12 September bahwa responden tidak mempersoalkan agama pada Pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota (Pilwalkot) Semarang 2024. Artinya latar belakang agama kandidat tidak berimbas pada calon pemilih
Menanggapi hal itu, pengamat politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang, M. Kholidul Adib mengatakan bahwa isu agama sejatinya menjadi isu yang hangat dibicarakan oleh masyarakat.
“Salah satu isu yang ramai dibicarakan masyarakat adalah faktor agama yang dianut Agustina Wilujeng. Agustina merupakan wanita kelahiran Semarang, 11 Agustus 1971. Ia beragama Katolik dari paroki St. Maria Fatima,” kata Adib kepada Lingkar.co pada Jum’at (20/9/2024).
Kendati demikian, menurut Adib, PDI Perjuangan sebagai partai nasionalis tentu berpendapat semua warga negara memiliki hak yang sama untuk diusung mengisi jabatan publik. Namun demikian belum tentu sama dengan pendapat masyarakat.
Tentu saja hal itu menjadi pertimbangan utama bagi penganut Islam dengan latar belakang pesantren atau taat kepada ulama atau bisa dikatakan sebagai bagian dari golongan yang konservatif. Namun golongan tersebut tidak terdeteksi dalam survei yang dilakukan oleh Y-Publica.
“Bagi kalangan muslim yang tingkat religiusitasnya tinggi, masih banyak yang menjadikan agama sebagai faktor yang menentukan pilihan politik. Hal yang demikian ini juga tampak dari hasil survey Y-Publica pimpinan Rudi Hartono,” ungkapnya.
Ia pun memaparkan rilis hasil survei Y-Publica yang menyatakan bahwa segmentasi agama tidak terlalu berpengaruh. Menurut hasil surveinya ada sekitar 59 persen sampel warga kota Semarang tidak mempersoalkan agama seorang kandidat.
“Secara tidak langsung hasil survei tersebut menyatakan bahwa ada sekitar 41 persen sampel responden Kota Semarang yang masih mempersoalkan agama dalam menentukan pilihan wali kota Semarang,” ujarnya.
“Dengan kata lain, jika menggunakan tipologi politik aliran, maka hasil survei tersebut hendak menegaskan jika angka 59 persen merepresentasikan jumlah pemilih dari kalangan nasionalis, sedangkan pemilih dari kalangan religius ada 41 persen,” lanjutnya.
Sejalan dengan hal itu, Adib mempertanyakan angka 59 persen pemilih dari kalangan nasionalis yang tidak mempersoalkan agama seorang kandidat tersebut secara otomatis akan memilih paslon Agustina–Iswar yang diusung PDIP.
“Tentu saja tidak, sebab paslon Yoyok Sukawi dan Joko Santoso (Yoyok-Joss) juga mendapatkan dukungan dari kalangan partai-partai nasionalis seperti Partai Gerindra, Partai Demokrat, Partai Golkar, PSI dan Partai Nasdem,” tandasnya.
Dengan demikian, ia menilai angka 59 persen pemilih dari kalangan nasionalis tersebut dipastikan akan terbelah menjadi dua yaitu antara memilih Agustina-Iswar dan Yoyok-Joss. Sedangan 41 persen warga Kota Semarang yang dianggap religius karena masih menjadikan agama sebagai faktor yang mempengaruhi pilihan kandidat wali kota Semarang.
“Rata-rata pemilih PKS, PKB, PAN, PPP akan menjatuhkan pilihannya kepada Yoyok Sukawi dan Joko Sutanto yang dianggap sebagai sesama penganut agama Islam,” jelasnya.
Adib melanjutkan, jika melihat kalkulasi dukungan masyarakat dari faktor agama, maka besar peluang paslon Yoyok-Joss akan lebih unggul. “Memilih seorang kandidat atas dasar kesamaan agama adalah hak warga negara, namun menjadikan pilihan politik atas dasar agama tentu tidak baik bagi pengembangan demokrasi di Indonesia,” tegasnya.
Menurutnya, akan lebih baik jika pemilih lebih menjadikan isu-isu populis yang berkaitan hajat hidup orang banyak sebagai faktor utama dalam menentukan pilihan. Misalnya, akan lebih baik jika masyarakat bisa mengenal visi misi dan program kandidat, track record kandidat, kepribadian kandidat dan mengenali langsung kandidat yang mau bersentuhan dengan masyarakat.
Selain itu, lanjutnya, kandidat juga perlu lebih banyak datang langsung menyapa masyarakat, menyamakan cita-cita perjuangannya dengan harapan masyarakat. Kemudian menggerakkan tim relawan yang massif dan didukung logistik yang memadai. Dengan demikian Pilwalkot akan lebih berkualitas dengan adu gagasan.
“Jika menjadi ajang adu gagasan atau adu konsep untuk memperbaiki kota Semarang sehingga pemilih bisa menentukan pilihan wali kota dengan lebih cerdas untuk kemajuan Kota Semarang,” pungkasnya. (*)
Penulis: Ahmad Rifqi Hidayat