Lingkar.co – Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket DPRD Kabupaten Pati terus mendalami berbagai kebijakan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Pati. Pada Kamis (28/8/2025), Pansus memanggil sejumlah pihak, mulai dari camat, kepala desa (Kades), Plt Dinas Kesehatan, PCNU, hingga Plt Disdikbud Pati.
Ketua Pansus, Teguh Bandang Waluyo, menegaskan dari hasil klarifikasi terungkap bahwa para kades maupun camat tidak dilibatkan dalam penyusunan kebijakan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
“Hari ini kami sudah mengundang mulai dari Kades, Camat, dan Plt Dinas Kesehatan. Terkait Kades, kami tanyakan soal keberadaan perbup tentang kenaikan PBB. Dari keterangan yang kami terima, Kades tidak dilibatkan,” ujar Bandang.
Menurut Bandang, keterangan ini berbeda dengan pernyataan Bupati Pati di media massa, yang sebelumnya menyebut pemerintah desa ikut serta dalam pembahasan.
“Tiga Kades sudah kami mintai keterangan, dan ke depan akan ada lagi beberapa dari kecamatan lain. Termasuk Camat Margoyoso, yang kami klarifikasi, juga menyatakan tidak dilibatkan. Jadi prosesnya sudah jadi, baru sosialisasi,” tegasnya.
Soroti Mutasi Pegawai dan Polemik Lima Hari Sekolah
Selain soal PBB, Pansus juga menemukan dugaan keganjilan dalam mutasi pegawai di lingkungan Pemkab Pati. Bandang mengatakan pihaknya akan menelusuri lebih jauh data antara BKPSDM dan Dinas Kesehatan.
“Kami temukan beberapa mutasi yang rasa-rasanya ada keganjalan. Informasi dari BKPSDM dan Dinas Kesehatan berbeda, ini akan kami dalami lagi,” jelas Bandang.
Pansus juga mendalami polemik kebijakan lima hari sekolah yang dinilai tidak sinkron antara keterangan Disdik dengan PCNU.
Terkait sorotan publik terhadap kerja Pansus, Bandang menegaskan pihaknya bekerja secara terbuka.
“Masyarakat dan media bisa menilai sendiri. Dari awal tidak ada yang kami tutupi. Kalau prosesnya tertutup, teman-teman tidak boleh masuk, itu baru patut dicurigai. Tapi faktanya semua transparan,” katanya.
Saat ditanya mengenai salah satu anggota DPRD yang sempat diberi obat masuk angin karena diduga kelelahan, Bandang enggan menanggapi.
“Saya tidak melihat langsung, jadi tidak bisa menanggapi. Tapi masyarakat bisa menilai sendiri siapa yang serius, siapa yang tidak,” ujarnya.
Ia menambahkan, Pansus Hak Angket masih dalam tahap pendalaman.
“Kesimpulan Pansus belum bisa kami sampaikan sekarang. Tapi yang jelas, kami berjalan sesuai realita di lapangan. Harapannya, semua ini bisa memberikan kejelasan kepada masyarakat,” pungkasnya.
PCNU Klarifikasi Maklumat soal Lima Hari Sekolah
Sementara itu, Wakil Ketua PCNU Pati, Umar Farouk, turut memberikan keterangan terkait maklumat PCNU Pati yang diterbitkan pada 10 Agustus 2025.
Salah satu poin penting dalam maklumat tersebut adalah permintaan agar Bupati Pati menyampaikan permohonan maaf, lantaran sempat mengklaim kebijakan lima hari sekolah sudah mendapat dukungan PCNU.
“Padahal waktu itu PCNU belum pernah diajak bertemu. Namun setelah maklumat kami sampaikan, Bupati segera meminta maaf, dan permintaan maaf itu kami terima serta apresiasi. Jadi persoalan itu sebenarnya sudah selesai,” jelas Umar Farouk.
Meski begitu, PCNU Pati menilai kebijakan lima hari sekolah diterapkan tanpa kajian matang. Umar menekankan bahwa meskipun aturan lima maupun enam hari sekolah sama-sama dilindungi undang-undang, tetap ada syarat yang harus dipenuhi satuan pendidikan.
“Misalnya tenaga pendidik dan kependidikan harus mencukupi, sarana-prasarana tersedia, hingga adanya komunikasi dengan tokoh masyarakat dan komite sekolah. Kalau semua proses itu dijalankan, pasti tidak ada penolakan. Sayangnya tim pendidikan Kabupaten Pati kurang cermat sehingga muncul kegaduhan,” ungkapnya.
Ia mencontohkan permasalahan teknis, seperti sekolah tanpa masjid sehingga siswa kesulitan melaksanakan salat Jumat, hingga jam pulang sekolah yang molor dan mengganggu aktivitas keagamaan maupun sosial.
“Pak Bupati kemudian menanyakan kepada Dinas Pendidikan, dan ternyata diakui memang implementasinya terganggu. Maka kebijakan itu pun akhirnya dicabut,” tambahnya.
Umar juga mengingatkan bahwa paradigma Bupati saat itu keliru karena menilai guru semata-mata sebagai pekerja dengan pola lima hari kerja.
“Padahal guru adalah pendidik yang memiliki tanggung jawab lebih dari sekadar jam kerja formal. Kalau lima hari kerja diterapkan, hari ke-6 seperti Sabtu justru bisa menimbulkan potensi negatif bagi peserta didik,” pungkasnya. (*)