Kebutuhan Dokter Jawa Tengah Masih Kurang, Pemprov Butuh Peran Asosiasi Pendidikan Kedokteran

Sekda Jateng Sumarno saat menghadiri Musyawarah Wilayah Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia (AIPKI) Regional Wilayah IV di Hotel Santika Premiere Semarang, Jumat (19/9/2025). Foto: dokumentasi
Sekda Jateng Sumarno saat menghadiri Musyawarah Wilayah Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia (AIPKI) Regional Wilayah IV di Hotel Santika Premiere Semarang, Jumat (19/9/2025). Foto: dokumentasi

Lingkar.co – Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Jawa Tengah, Sumarno, mengatakan, gap atau perbandingan jumlah dokter umum maupun spesialis masih kurang dibandingkan persebaran penduduk yang ada di Indonesia. Adapun sesuai standar World Health Organization (WHO), satu orang dokter mengakomodasi 1.000 penduduk.

“Khusus di Jawa Tengah, saat ini memiliki 11.405 dokter. Sedangkan jumlah idealnya setidaknya 27.863 dokter,” kata Sumarno, saat menghadiri Musyawarah Wilayah Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia (AIPKI) Regional Wilayah IV di Hotel Santika Premiere Semarang, Jumat (19/9/2025).

Menurut Sekda, lulusan dokter umum maupun spesialis dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia jumlahnya masih belum mencukupi. Untuk itu peran AIPKI dibutuhkan untuk memperbanyak lulusan baru kedokteran untuk menekan gap yang ada.

“Nah, inilah pekerjaan yang ada di tangan bapak-ibu sekalian di sini,” katanya.

Selain program-program teknis tertentu, Sumarno juga meminta asosiasi memiliki program atau edukasi kepada publik supaya banyak pelajar yang berminat melanjutkan pendidikan di Universitas jurusan kedokteran.

Stigma atau persepsi publik mahalnya biaya masuk fakultas kedokteran di universitas harus dihilangkan. Dengan begitu, membuka peluang lebih lebar kepada setiap anak-anak bangsa untuk berani melanjutkan pendidikan tinggi di jurusan kedokteran.

“Barangkali secara akademik di sekolah SMA mungkin sebetulnya mereka punya potensi untuk masuk di kedokteran. Akan tetapi begitu bicara masalah biaya itu pasti enggak akan berani,” katanya.

Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Direktorat Jenderal Pendidilan Tinggi, Kementerian Pendidikan Tinggi Sains dan Teknologi, Khairul Munadi, mengatakan,
tantangan untuk dunia kesehatan di Indonesia selain jumlah dokter yang kurang, ada juga tantangan distribusi.

Artinya butuh kerjasama semua pihak. Baik pemerintah pusat hingga daerah, serta dari kalangan perguruan tinggi, dan lainnya.

“Contoh kecil saja. Untuk pendidikan kedokteran, dan spesialis butuh rumah sakit. Rumah sakit tidak mungkin didirikan sendiri oleh perguruan tinggi apalagi kampus yang baru. Sehingga perlu bergandengan tangan, perlu didukung peran pemerintah daerah juga,” katanya.

Menurutnya, dalam menuju Indonesia sehat 2045, Presiden Prabowo Subianto punya harapan untuk membuka 158 program studi kedokteran baru.

“Jadi harapannya tidak ada pertentangan antara hospital based, university based. Karena keduanya adalah amanat undang-undang. Hanya saja bagaimana kita bisa mensinergikan ini agar kekurangan dokter bisa terjawab,” katanya.

Humas dan Kemitraan AlPKI, Tonang Dwi Ardyanto, menambahkan, sejak asosiasi didirikan pada 2001, dari 17 fakultas kedokteran kini berkembang menjadi 127 anggota. Keberadaan asosiasi memiliki tujuan untuk menjaga mutu pendidikan kedokteran.

Adapun inti pokok penyelenggaraan forum kali ini, bagaimana menjawab persoalan pemenuhan kebutuhan dokter dam dokter spesialis di Indonesia. Pendidikan tinggi agar bisa mengambil suatu langkah perencanaan nasional tentang kebutuhan tenaga kesehatan khususnya dokter.

“Angkanya cukup tinggi yang kemarin Pak Presiden sampaikan. Kita dihitung target kebutuhannya sekitar 70.000 dokter baru,” katanya. (*)