Site icon Lingkar.co

Kesimpulan Ahmad Baso Mengenai Sejarah Demak Tidak Sesuai Logika Akademik

Kesimpulan Ahmad Baso Mengenai Sejarah Demak Tidak Sesuai Logika Akademik. Foto: istimewa

Kesimpulan Ahmad Baso Mengenai Sejarah Demak Tidak Sesuai Logika Akademik. Lukisan ilustrasi: istimewa

Lingkar.co – Pada awal Agustus lalu, peneliti dan penulis buku ‘Walisongo; Khittah Kebangkitan Bangsa dan Historiografi Islamisasi Nusantara’ Prof. Dr. Ahmad Baso, MA membuat pernyataan yang menggegerkan kalangan akademisi.

Ia menyatakan bahwa Kesultanan Demak sudah ada pada tahun 1460 M dalam forum diskusi dan bedah buku Babad Demak dan Historiografi Walisongo yang diselenggarakan di serambi Masjid Agung Demak. Bahkan ia juga berani menyimpulkan bahwa Keraton Demak berada di serambi Masjid Demak termasuk lembaga peradilan juga ada di serambi Masjid Demak.

Ahmad Baso berani mengambil kesimpulan tersebut atas dasar dirinya menemukan naskah kuno berbahasa Arab yang ditulis oleh Ibnu Majid. Naskah kuno itu menyatakan bahwa Ibnu Majid sebagai penulis telah datang dan bertemu Sultan Fatah di serambi Masjid Agung Demak pada tahun 1462 M.

Menanggapi hal itu, Ketua LP2M UIN Walisongo, Prof. Dr. H. Arief Junaidi MAg mengatakan pernyataan Ahmad Baso tidak sesuai dengan logika akademik. Semestinya, Ahmad Baso sebagai peneliti tidak bisa mengambil kesimpulan hanya berdasarkan pada satu sumber saja.

“Kalau kita meneliti sejarah Demak maka kita mesti melengkapi dengan data-data dari sumber babat dan data-data dari Barat seperti dari Portugis, kemudian China dan sebagian kecil dari Arab. Kita tidak bisa hanya memfokuskan pada satu sumber sejarah dengan menegasikan sumber-sumber sejarah yang lain,” ujarnya.

Ia menyatakan hal itu saat menjadi pembicara dalam kegiatan refleksi kemerdekaan ke-80 dan launching buku ‘Menyalakan Api Perlawanan Masterpiece Perjuangan Ulama Jawa Tengah Melawan Penjajah’ yang digelar IKA PMII Jateng pada hari Jum’at, 22 Agustus 2025 Pukul 13.00 – 17. 00 WIB di aula Wisma Perdamaian, Kota Semarang.

Maka dari itu, Arief Junaidi menilai kesimpulan Ahmad Baso tergesa-tergesa karena dalam melakukan kajian sejarah, seorang peneliti harus menempatkan data pada locus dan tempus yang tepat agar bisa tepat pula dalam membuat kesimpulan. “Untuk itu kita harus membekali dengan data selengkap mungkin,” tegasnya.

Menurut dia, Ahmad Baso cenderung menolak data dari Barat dan lebih menerima data dari Arab, padahal data dari Arab sedikit sekali.

“Sebagai peneliti kita mestinya dapat menerima data-data dari manapun kita kumpulkan, kemudian diverifikasi atau diuji validitasnya, apakah data-data yang kita dapatkan itu sahih apa tidak, kemudian dibuat intrepretasi dan disusun historiografi,” paparnya.

Arief Junaidi mengingatkan bahwa menulis sejarah itu bagian dari upaya peneliti untuk mencari pijakan agar tidak salah. Orang yang mau merengkuh masa depan tapi mengabaikan masa lalu akan mudah terjerembab.

Menurutnya, kesimpulan Ahmad Baso tidak logis jika pada tahun 1462 sudah ada Kesultanan Demak, karena berbenturan dengan temuan para sejarawan yang menulis Sultan Fatah lahir tahun 1455 M.

Suasana bedah buku berjudul Menyalakan Api Perlawanan Masterpiece Perjuangan Ulama Jawa Tengah Melawan Penjajah yang dilakukan IKA PMII Jateng di Wisma Perdamaian Semarang, Jum’at (22/8/2025). Foto: dokumentasi

Jika para sejarawan menulis Sultan Fatah lahir tahun 1455 di Palembang, maka data Ahmad Baso berbenturan dengan tahun 1462 sudah ada orang Arab datang ke Kerajaan Demak dan ditemui Sultan Fatah di Serambi Masjid Demak karena usia Sultan Fatah baru 5 tahun, “Ini yang menjadi pertanyaan dari sumber data dari Arab yang dikemukakan Ahmad Baso,” katanya.

Arief Junaidi mempertanyakan, jika Kerajaan Demak benar sudah ada pada tahun 1460, maka siapa yang menjadi sultannm Demak, atau status Demak saat itu sebagai tanah kesultanan yang merdeka atau masih sebatas komunitas muslim awal sebelum Demak menjadi kesultanan.

Di lain sisi, kalau di gerbang Majapahit terdapat tulisan Candra Sengkala Sirna Ilang Kertaning Bhumi yang diartikan oleh para peneliti sejarah sirna berarti nol kemudian ilang juga berarti nol sedangkan kertaning itu maknanya kota yang punya empat ujung arah sehingga diartikan empat dan bhumi berarti satu. Jadi dibaca 0041 atau kalau dibalik menjadi 1400 tahun saka.

Selisih tahun saka dengan tahun masehi itu 78, maka kalau dicarikan masehinya jadi tahun 1478 M. Kalau Majapahit baru runtuh tahun 1478 M, apakah mungkin pada tahun 1460 sudah berdiri Kesultanan Demak. “Jadi kita harus melihat data secara utuh dari manapun asalnya kemudian kita uji validitasnya,” tandasnya. (*)

Penulis: Ahmad Rifqi Hidayat

Exit mobile version