Lingkar.co – Anggota DPD RI dari Jawa Tengah, Dr. Abdul Kholik menyoroti polemik pemberlakuan kembali sekolah enam hari. Menurutnya, sekolah lima hari merupakan adaptasi dari sistem kerja, bukan konsep pendidikan.
Ia menilai proses belajar mengajar idealnya berjalan bertahap atau perlahan-lahan (gradual) sehingga membutuhkan waktu yang lebih dan tidak bisa dipadatkan, terlebih dalam menanamkan karakter
“Dalam sistem enam hari, siswa memiliki waktu lebih panjang untuk menyerap pelajaran dan tetap punya ruang untuk belajar moral, karakter, dan agama di luar sekolah,” jelasnyam
Ia menyampaikan hal itu saat menjadi narasumber seminar nasional bertema ‘Revitalisasi Moralitas dalam Dunia Pendidikan: Akar Masalah dan Strategi’ yang digelar seusai pelantikan pengurus Pimpinan Wilayah (PW) Perhimpunan Remaja Masjid (Prima) Dewan Masjid Indonesia (DMI) Jawa Tengah masa khidmat 2025–2029 di Wisma Perdamaian Semarang, Jumat (5/12/2025).
Maka dari itu, dirinya juga mendorong Pemprov Jateng menggandeng berbagai organisasi keagamaan lintas agama untuk mengisi ruang pembelajaran karakter bagi siswa. Sebab, menurut Abdul Kholik, penguatan moralitas tidak cukup hanya dengan mengandalkan sekolah formal.
Karena itu, ia menilai remaja harus memiliki ruang belajar tambahan di luar jam sekolah, termasuk melalui kegiatan berbasis masjid seperti pesantren liburan, kelas karakter, dan kegiatan edukatif lainnya.
Sejalan dengan tujuan pendidikan, Abdul Kholik berharap Prima DMI memiliki peran besar dalam menghidupkan fungsi masjid, terutama sebagai pusat pendidikan karakter, dakwah, dan pemberdayaan remaja.
“Saya berharap Prima DMI dapat memaksimalkan peran masjid sebagai ruang pembinaan moral. DPD siap berkolaborasi untuk memperkuat fungsi pendidikan, dakwah, dan pemberdayaan,” tuturnya.
Senada, Ketua PW DMI Jawa Tengah, Prof. Dr. KH Ahmad Rofiq, MA menekankan, masjid tidak boleh hanya menjadi tempat ibadah, tetapi juga pusat pembinaan akhlak dan peradaban. Maka, ia meminta aktivitas remaja masjid harus menjadi motor yang menggerakkan revitalisasi moral masyarakat.
“Celoteh anak-anak di masjid adalah tanda kehidupan. Jika remaja tidak lagi hadir di masjid, kita kehilangan satu generasi,” tegasnya.
Ia lanjut menerangkan, pendidikan moral tidak bisa hanya dibebankan pada keluarga atau sekolah. Lebih dari itu, lingkungan dan ruang digital harus bersinergi agar remaja tidak salah asuh.
Menyoroti berbagai kasus moralitas di dunia pendidikan yang muncul belakangan, Rofiq berharap pemerintah, khususnya Kementerian Agama, segera melakukan MoU untuk memperkuat perlindungan bagi guru dan madrasah agar kasus seperti guru madrasah diniyah di Demak tak terulang.
Ia juga mendukung gagasan kembali ke sekolah enam hari sebagai bagian dari upaya memperkuat pembinaan moral di luar sekolah, “Budaya kerja tidak bisa disamakan dengan budaya sekolah. Pendidikan itu harus bertahap, tidak dipaksakan. Dengan enam hari sekolah, pembinaan karakter bisa lebih optimal,” katanya. (*)
Penulis: Ahmad Rifqi Hidayat








