Lingkar.co – Maju sebagai Bakal Calon Wakil Wali Kota Semarang, Ady Setyawan telah mempersiapkan konsep Sabuk Semarang sebagai solusi mengatasi banjir yang terus mengancam saat musim hujan tiba. Menurutnya, ada dua hal yang perlu dibangun dalam menangani banjir, pertama infrastruktur dan yang kedua kultur
Dari sisi infrastruktur, menurut Mas Wawan, sapaan akrabnya, sebenarnya konsep sabuk Semarang itu bukan konsep yang murni baru, hanya istilahnya saja yang berbeda.
“Namun sebenarnya sejak Pak Iswar jadi Kepala DPU atau Bina Marga konsep membuat penangkal banjir dari pinggiran Kota Semarang sudah dicetuskan,” ujarnya kepada wartawan di Arum Resto, Sabtu (1/6/2024) malam.
Wawan melanjukan, konsep yang ia tawarkan adalah prinsip dasar melakukan perencanaan perkotaan metropolitan.
“Jadi hal tersebut merupakan ilmu dasar perencanaan untuk melindungi kota metropolitan dari banjir,” ujar pria yang memiliki kepakaran di bidang pengendalian air dari Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya ini.
Wawan meyakini konsep penanganan air agar tidak banjir seperti di Belanda itu sangat bisa dilakukan di Semarang. Pasalnya, konsep sabuk Semarang yang olehnya juga sebenarnya juga sudah dilakukan, namun masih secara parsial seperti di Tawang dengan adanya polder. Hanya sayangnya pengerjaannya tidak benar.
“Ketika air itu disedot masuk kepolder dan kemudian dibuang ke laut, saat pembuangan pompanya rusak. Karena pompanya tidak turn in dengan kapasitas air atau besarnya selang,” ujar direktur PDAM Indramayu tersebut.
Mas Wawan yang pernah menjadi direktur PDAM di Jember dan Grobogan tersebut juga menjelaskan bahwa program Sabuk Semarang yang dia usung adalah sebuah program penangkal banjir yang dilakukan secara terintegrasi dari hulu ke hilir dan tersambung secara sempurna di setiap Kecamatan dan Kelurahan yang ada di Semarang.
“Jadi tidak boleh semisal banjirnya di Tawang, hanya Tawang yang dilakukan penangan. Jadi harus diukur dulu tinggi air dibanding daratannya. Yang tinggi mana yang rendah mana,” terangnya.
“Sehingga dengan begitu, tidak semua kecamatan juga harus dibikin polder. Seandainya bisa kita arahkan airnya dengan gravitsai, kenapa harus pakai polder atau pompa,” tambahnya.
Menurut Mas Wawan, di Semarang ini banyak sekali ahli hidrologi yang tersebar di kampus-kampus besar yang mampu mewujudkan misinya tersebut.
“Tinggal bagaimana kita mengintegrasikan keilmuan tersebut di lapangan,” tukasnya.
Kemudian secara kultur, menurut Mas Wawan, di Semarang belum terbentuk kultur masyarakat yang peka terhadap persoalan banjir. Pemkot Semarang memiliki pekerjaan rumah untuk membentuk kultru tersebut melalui edukasi dan sosialisasi.
“Nah Pemkot harus terus menerus mensosialisasikan bahayanya membuang sampah sembarangan, membangun rumah sembarangan di lahan yang tidak seharusnya, dan pembangunan jalan yang tidak sesuai ketentuan,” bebernya.
Terkait dengan sampah, Wawan mengatakan bisa dibuatkan mikro industri pengelolaan sampah agar sampah ini bisa didaur ulang dan bermanfaat. Pengalaman Mas Wawan di Indramayu, sampah itu bisa diolah menjadi briket atau solar sintetis. Kalau di Jakarta bisa menjadi listrik.
“Nah di Semarang potensi sampah yang mencapai 1 juta kubik perhari itu bisa diolah seperti itu. Nah selain itu adapula gerakan reboisasi, pembuatan biopori-biopori, dan lainnya untuk membangun kultur penanganan banjir,” tandasnya.
Maka dari itu, Mas Wawan mengatakan perlu ada instrument hukum yang mencakup substansi pengendalian banjir, strukturnya, dan kulturnya. Sehingga misi ini bisa dijalankan mulai dari tingkat RT, RW, Kelurahan, Kecamatan, hingga Kota. (*)
Penulis: Ani Friska
Editor: Ahmad Rifqi Hidayat