Lingkar.co – Mantan Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum menegaskan, perjuangan aktivis tidak akan pernah berhenti hanya pada memikirkan dirinya sendiri.
“Tetapi yang mengikat kita di tempat ini adalah ikatan tempat spirit perjuangan, bahwa kita semua, para aktivis tidak pernah selesai dengan diri kita sendiri,” ujarnya.
Hal itu terungkap ketika ia berbicara dalam Sahur Bersama Anas Urbaningrum di Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang, Jawa Tengah, Rabu (17/4/2023).
Sebaliknya, ia menilai tugas aktivis baru akan selesai ketika sudah memikirkan bangsa dalam keislaman dan keindonesiaan.
“Kita para aktivis, baru akan selesai ‘ketika kita memikirkan urusan-urusan orang banyak’, memikirkan urusan publik, memikirkan urusan kalau dalam bahasa himpunan (HMI) urusan umat dan bangsa, urusan keislaman dan keindonesiaan, urusan merdeka dan Allahu Akbar,” kata Anas Urbaningrum disambut tepuk tangan hadirin.
Ia lantas jelaskan yang ia maksud, bukan merdeka yang bertempur dengan Allahu Akbar. Bukan Allahu Akbar yang bertabrakan dengan merdeka karena pada dasarnya merdeka itu pernyataan kemerdekaan.
“Yang besar itu hanya Allah, yang besar itu bukan kekuasaan zalim, yang besar itu bukan kekuasaan yang menindas, yang besar bukan kekuasaan yang dioperasikan dengan cara yang ugal-ugalan,” tegasnya.
Menurutnya, yang besar itu hanya Allah dalam para aktivis yang ingin bekerja untuk kebaikan-kebaikan negeri ini.
“Pasti merasa apapun tantangannya, termasuk kalau dulu belajar dengan temen-temen yang agak kanan itu termasuk thoghut itu kecil,” ucapnya.
Ia pun menerangkan alasan menggunakan diksi tersebut karena terkadang terminologi tersebut masih relevan pada saat tertentu.
“Saya memakai terminologi itu (thoghut) untuk mengingatkan bahwa kadang-kadang terminologi itu masih relevan, tetapi bukan untuk menunjukkan itu tadi bahwa merdeka itu berhadap-hadapan dengan Allahu Akbar, sama sekali tidak, apalagi konteks Indonesia,” paparnya.
Ia pun menjabarkan bahwa Indonesia adalah negeri yang mendapat anugerah kekayaan alam, kemajemukan budaya yang hanya bisa dikelola dengan memahami dan menyadari spirit kemajemukan itu.
“Sebaliknya kalau tidak ada kesadaran tentang kemajemukan itu, tentu pengelolaan negeri ini, siapapun yang mengelola akan mudah jatuh kepada keadaan yang mengarah pada compang-camping,” katanya.
“Karena itu sesungguhnya kesadaran pluralisme kesadaran kemajemukan itu menurut hemat saya juga jadi spirit keislaman, spirit himpunan dan nyambung persis ke idelogi keindonesiaan,” sambungnya.
Pada kesempata itu, Anas juga mengakui dirinya tidak asing dengan kampus Islam yang ada di Kaligawe, Gayamsari, Kota Semarang.
“Unissula tidak asing buat saya, karena ketika pertemuan mahasiswa waktu itu, yang saya ingat Pak Rektor, kampusnya belum seperti ini,” kenangnya.
Lebih jauh ia mengingat kenangan yang dirasa cukup lucu. Yakni, kondisi kampus yang tidak memiliki air bersih yang cukup untuk kran air wudu masjid, dan kamar mandi.
“Saya minta maaf pada Pak Jawade, pada waktu itu, kadang-kadang airnya agak susah,” sontak candaan tersebut disambut tawa oleh semua yang hadir.
“Artinya belum makmur. Nah sekarang dengan rektor baru tapi didahului oleh (Rektor) yang lama dan didoakan oleh Direktur Monas Institute, kampus ini menjadi kampus yang menjulang tinggi di Jawa Tengah dan di Indonesia,” sambungnya.
Pada kesempatan itu, ia juga tidak menduga jika kegiatan sahur bersama bisa diikuti peserta yang banyak. Karena menurutnya, bangun pagi dan berkumpul bersama untuk kegiatan tersebut terbilang sudah cukup susah.
Ingatkan Tujuan Merdeka
“Yang kedua saya ingin mengucapkan terima kasih yang tulus, saya sungguh tidak menduga ternyata yang datang pada sahur bersama ini kok banyak ya Pak Rektor,” ucapnya.
Sejalan dengan kata kemakmuran, Anas juga menyinggung sedikit tentang tujuan perjuangan bangsa Indonesia merdeka.
“Yang setelah kita merdeka cukup lama, sejak tahun 45, tapi sebagian dari semangat, sebagian dari janji kemerderkaan itu masih agak jauh,” ujarnya.
“Tetapi agak jauh itu bukan alasan untuk pesimis, agak jauh itu realitas, itu kenyataan, agak jauh itu menjadi tantangan untuk yang muda-muda,” pesannya.
Oleh karena itu ia mengingatkan pentingnya menjaga tradisi aktivis dan intelektual dalam dinamika mencari ilmu sebagai mahasiswa.
Ia tegaskan, intelektual sebagai peralatan minimal yang harus dipunyai oleh seorang aktivis.
“Karena cara itu untuk mendekati persoalan-persoalan yang ada di negeri ini. Kalau tidak, kita akan ketinggalan dalam kompetisi ini, bukan hanya makin ketinggal dalam kompetisi dalam negeri, apalagi kompetisi di tingkat internasional,” ujarnya.
Namun demikian, ia menyadari untuk saat ini tidak bisa berlama-lama dalam forum diskusi ilmiah. Sebab, ia berharap masih ada agenda di Semarang pada lain kesempatan.
“Saya tidak ingin kehilangan rasa bijak karena saya sudah sangat lama tidak berada di forum seperti ini, sembilan tahun tiga bulan,” ucap Anas. (*)
Penulis: Ahmad Rifqi Hidayat
Editor: Ahmad Rifqi Hidayat
Dapatkan update berita pilihan dan terkini setiap hari dari lingkar.co dengan mengaktifkan Notifikasi. Lingkar.co tersedia di Google News, s.id/googlenewslingkar , Kanal Telegram t.me/lingkardotco , dan Play Store https://s.id/lingkarapps