Lingkar.co – Direktur Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Santri Nusantara (P3SN) mengingatkan bahwa program sekolah rakyat yang digencarkan pemerintah berisiko menimbulkan sekat sosial.
Dia mengatakan, program sekolah rakyat adalah upaya pemerintah untuk memeratakan kualitas pendidikan agar tidak ada sekat. Namun P3SN berpendapat berbeda.
“Sebagai bagian dari komitmen kami dalam memperjuangkan akses pendidikan yang adil dan bermartabat bagi semua anak bangsa, Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Santri Nusantara (P3SN) memandang bahwa inisiasi Sekolah Rakyat (SR) yang saat ini tengah digagas pemerintah perlu dipertimbangkan secara matang dan komprehensif,” ujar Busyro melalui keterangan tertulisnya, Senin (16/6/2025).
Pria asal Kecamatan Tembalang Kota Semarang yang saat ini menjadi calon doktor di Universitas Indonesia tersebut mengatakan bahwa pembentukan Sekolah Rakyat justru berpotensi menimbulkan stigma sosial di masyarakat.
“Kami menilai bahwa pembentukan Sekolah Rakyat justru berpotensi menimbulkan stigma sosial di masyarakat, yang bisa melabeli institusi tersebut sebagai “sekolah anak miskin.” Ini tentu bertentangan dengan prinsip inklusi pendidikan yang telah lama kita perjuangkan,” beber Busyro.
Bagi Busyro, pendidikan seharusnya menjadi ruang yang menyatukan, bukan memisahkan. Anak-anak dari keluarga miskin ekstrem mestinya belajar dan bersosialisasi bersama semua kalangan tanpa sekat status sosial, agar perkembangan karakter dan keterampilan sosial mereka dapat tumbuh secara optimal.
Saat ini, pemerintah sebenarnya telah memiliki jalur afirmasi yang terintegrasi dalam setiap seleksi penerimaan peserta didik baru (PPDB) di semua jenjang pendidikan, termasuk program Indonesia Pintar (PIP) yang secara khusus memberikan bantuan kepada anak-anak dari keluarga miskin dan rentan miskin. Mengapa tidak memperkuat dan mengoptimalkan jalur-jalur afirmasi yang sudah ada?
Banyak Sekolah Kekurangan Siswa
P3SN juga mencatat bahwa banyak sekolah formal dan non-formal swasta di berbagai daerah saat ini justru kekurangan peserta didik.
“Jika Sekolah Rakyat didirikan, siapa yang akan mengisi bangku-bangku kosong di sekolah-sekolah tersebut? Bukankah akan semakin memperlebar disparitas dan mengancam keberlangsungan lembaga pendidikan yang telah lama berkontribusi di masyarakat?,” urainya.
Selain itu, di tengah kebijakan efisiensi anggaran dan adanya pemotongan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) reguler hingga 50 persen untuk beberapa daerah, pengucuran dana besar untuk program Sekolah Rakyat tampak sebagai sebuah anomali kebijakan yang perlu dikaji ulang.
“Rasionalisasi anggaran mestinya diiringi dengan pemanfaatan sumber daya yang sudah ada secara maksimal,” tandasnya.
Jika yang membedakan Sekolah Rakyat dengan sekolah reguler hanyalah model berbasis asrama, Indonesia sudah memiliki banyak lembaga pendidikan berbasis asrama seperti pesantren dan panti yang bisa diberdayakan.
Tinggal bagaimana pemerintah memperkuat kapasitas pengelolaan, kualitas pembelajaran, dan dukungan manajemennya agar bisa menjadi solusi konkret dan efektif bagi pendidikan anak-anak dari keluarga miskin ekstrem.
“Kami mengajak semua pihak untuk lebih fokus pada penguatan akses dan kualitas pendidikan formal dan non-formal yang sudah ada, bukan menciptakan sekat-sekat sosial baru yang justru berisiko memarjinalkan anak-anak dari keluarga tidak mampu,” jelasnya.
Lebih jauh, perlu diingat bahwa pembentukan Sekolah Rakyat dalam jangka panjang dikhawatirkan dapat mempertegas segmentasi sosial di lingkungan pendidikan.
Model pemisahan seperti ini bisa menimbulkan efek psikologis yang dalam pada anak, seperti rendahnya rasa percaya diri, perasaan inferior, dan kesulitan beradaptasi ketika kelak memasuki lingkungan sosial yang lebih heterogen. Ini adalah persoalan serius yang harus diantisipasi sejak awal.
Tidak hanya itu, kebijakan afirmasi yang sudah berjalan saat ini sebenarnya telah memberikan ruang bagi anak-anak dari keluarga miskin ekstrem untuk mendapatkan pendidikan yang layak.
17 Juta Siswa Terima PIP
Data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2023 menunjukkan bahwa lebih dari 17 juta siswa telah menerima manfaat dari Program Indonesia Pintar (PIP).
“Jika program ini diperkuat dan diperluas cakupannya, upaya pemerataan pendidikan dapat tercapai tanpa perlu membentuk institusi baru yang berpotensi menimbulkan sekat,” tuturnya.
Di sisi lain, keberadaan ribuan pesantren dan lembaga pendidikan berbasis asrama di Indonesia menjadi kekuatan lokal yang belum sepenuhnya dioptimalkan.
Pemerintah dapat menjalin kolaborasi strategis dengan pesantren dan lembaga serupa untuk memperluas daya tampung siswa dari keluarga miskin ekstrem dengan tetap menjunjung prinsip inklusi, sekaligus memberdayakan lembaga pendidikan yang telah memiliki basis sosial dan budaya yang kuat di masyarakat.
Kami percaya, solusi pendidikan haruslah menyatukan, bukan memisahkan. Pemerintah, masyarakat, dan seluruh pemangku kepentingan perlu duduk bersama untuk merumuskan kebijakan yang betul-betul berpihak pada masa depan anak bangsa, dengan tetap menjaga prinsip keadilan sosial, efisiensi anggaran, dan keberlanjutan lembaga pendidikan yang telah eksis.
“Kami dari P3SN siap menjadi mitra dialog dan kolaborasi dalam membangun pendidikan yang lebih inklusif, berkeadilan, dan bermartabat,” pungkasnya. (*)