KARANGANYAR – Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Karanganyar telah selesai mematenkan Singkong Jarak Towo dan Kopi Lawu sebagai hak milik. Hal tersebut untuk menghindari klaim dari daerah lain terhadap dua varietas tersebut.
Kepala Dinas Pertanian Pangan dan Perikanan (Dispertan PP) Karanganyar Siti Maesyaroch menyampaikan, pihaknya telah mendaftarkan dua varietas lokal yaitu Singkong Jarak Towo dan Kopi Lawu pada tahun lalu. Saat ini pihaknya telah mendapatkan sertifikat tanda daftar dari Kementerian Pertanian.
“supaya dapat dikenal banyak orang. Sehingga kedepannya petani juga dapat mendapatkan keuntungan dari varietas tersebut,” terangnya.
Siti menjelaskan, penanaman Jarak Towo dan Kopi Lawu sudah di beberapa daerah meskipun jumlahnya belum begitu banyak. Penanaman Jarak Towo sendiri banyak di wilayah lereng pegunungan seperti Jatiyoso, Jenawi, dan Ngargoyoso. Sedangkan penanaman Kopi Lawu baru di wilayah Jenawi dan Jatiyoso.
“Penanaman varietas ini hanya bisa di wilayah tertentu supaya hasilnya dapat optimal. Sempat pernah mencoba menanam Jarak Towo di wilayah lain, tapi hasilnya tidak optimal baik itu tekstur ketelanya maupun rasanya,” tambahnya.
Sementara itu, pengusaha olahan berbahan Singkong Jarak Towo Sudrajat merespon positif apa yang Pemkab Karanganyar lakukan. Dengan adanya hak paten ini tentu tidak akan terjadi lagi perbedaan nama. “Ada masyarakat yang menyebut varietas itu Jalak Towo,” ucapnya.
Sudrajat sendiri telah membuat bermacam-macam olahan dari singkong Jarak Towo sejak 2019. Mulai dari donat, brownies, gethuk dan lainnya.
“Sebenarnya Jarak Towo bisa untuk makanan kekinian dan tradisional. Asalkan Jarak Towo asli,” terangnya.
Ia berharap, dapat memperluas lagi lahan untuk penanaman Jarak Towo. Mengingat banyak lahan potensial yang belum banyak penanaman tanaman tersebut.
Pemilik usaha yang dengan nama Si Jarwo itu menuturkan, selama pandemi ia sengaja mengurangi jumlah produksi olahan berbahan jarak towo. Sebelum pandemi, ia dapat mengolah sekitar empat, namun selama pandemi sekitar 1 kuintal.
“Selama ini tidak ada kendala soal bahan. Biasanya langsung ambil langsung dari petani di Wonorejo Jatiyoso. Per kilo minimal Rp 3.500, itu kotor. Kalau bersih bisa sampai Rp 4.000-4.500. Belum lagi kalau sampai pasar, tambah biaya transport, packaging bisa sampai Rp 5.000 hingga Rp 6.000,” ungkap Sudrajat. (jok/dha)
Dapatkan update berita pilihan dan terkini setiap hari dari lingkar.co dengan mengaktifkan Notifikasi. Lingkar.co tersedia di Google News, s.id/googlenewslingkar , Kanal Telegram t.me/lingkardotco , dan Play Store https://s.id/lingkarapps