Lingkar.co – Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Diponegoro (Undip) Yazid Suhada, menilai pemerintah kerap blunder dalam merumuskan kebijakan kenaikan uang kuliah tunggal (UKT). Menurutnya, peraturan kenaikan UKT menghambat hak masyarakat untuk mendapatkan pendidikan tinggi.
“Kebijakan kenaikan UKT semakin mempersulit peluang untuk meningkatkan strata jenjang pendidikan tinggi di Indonesia. Dengan minimnya jumlah lulusan sarjana di Indonesia, kebijakan kenaikan UKT ini seharusnya tidak dikeluarkan (blunder kebijakan, red). Dari kebijakan ini dapat asumsikan bahwa hanya orang menengah ke atas saja yang bisa kuliah,” ujar Yazid Suhada Jaelani, Ketua BEM FISIP Undip 2023, Kepada Lingkar.co, Kamis (20/6/2024).
Yazid menambahkan, dengan adanya pembatalan kenaikan UKT ini mempertontonkan komunikasi politik antar instansi kurang baik. Sehingga menimbulkan kontradiksi kebijakan yang sering terjadi di Pemerintah Pusat.
“Banyak sekali miskomunikasi dan subtansi kebijakan yang disebabkan karena adanya perbedaan kepentingan. Hal ini menjadikan citra pemerintahan sekarang yang tidak bisa melahirkan suara bulat dalam pengambilan keputusan,” imbuhnya.
Sebelumnya, aturan kenaikan UKT tersebut tertuang dalam Peraturan Mendikbudrisek
(Permendikbudristek) No 2 Tahun 2024 tentang Standar Biaya Operasional Pendidikan Tinggi (SBOPT) pada PTN di Lingkungan Kemendikbudristek.
Pembatalan kebijakan kenaikan UKT tersebut setelah menerima respon penolakan dan aspirasi dari berbagai pihak seperti mahasiswa hingga masyarakat luas.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta Nadiem Makarim untuk mengkaji ulang rencana kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di perguruan tinggi negeri (PTN). Hal ini disampaikan olehnya saat memberikan sambutan di agenda Inaugurasi Menuju Ansor Masa Depan di Istora Senayan, Jakarta, Senin (27/5/2024).
Mentri Pendidikan, Nadiem Makarim mengaku telah bertemu dengan berbagai pihak terkait seperti para rektor, mahasiswa, hingga masyarakat sebelum memutuskan untuk membatalkan kenaikan UKT.
Hal ini kemudian menjadi bahan diskusi Nadiem bersama Presiden Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta, Senin pagi (27/05/2024) yang akhirnya melahirkan kesepakatan untuk membatalkan kenaikan UKT.
Di lain tempat, menurut Rofi Lutfiani, Mahasiswa Magister Ilmu Politik Universitas Diponegoro, pembatalan kenaikan UKT ini dilakukan setelah viral dan mendapat resistensi tinggi dari berbagai kalangan, terutama mahasiswa.
“Pemerintah baru bertindak karena isu ini ramai, lagi-lagi karena viral. Mungkin jika yang menolak atau menyuarakan sedikit pasti tidak akan dibatalkan,” ujar Rofi saat dihubungi Lingkar.co, Rabu (19/06/2024).
Rofi menilai, pemerintah baru mengevaluasi kebijakan setelah gelombangnya sudah besar. Sedangkan jika berbicara soal proses pembuatan kebijakan yang benar, harusnya sebelum produk hukum dan kebijakan baru dikeluarkan, sudah dikaji dahulu secara matang.
Akan tetapi pemerintah justru baru mengkaji setelah kebijakan keluar dan mendapat penolakan besar karena memberatkan masyarakat.
“Harapannya dengan adanya pengkajian ulang ini, skema pembuatan kebijakannya bisa benar karena untuk apa dibatalkan dan dikaji ulang jika tahun depan UKT tetap tinggi dan mempersulit masyarakat yang ingin berkuliah,” ujar Rofi.
Menurutnya, pengkajian ulang yang akan dilakukan pemerintah tersebut merupakan hal yang perlu dikawal supaya kalaupun tahun berikutnya akan ada pembaharuan kebijakan, maka diharapkan yang tidak memberatkan mahasiswa.
Penulis: Furia Hera Wati
Editor : Kharen Puja Risma