Site icon Lingkar.co

Tak Mau Beri Ucapan Selamat, Gus Mus Heran Masih Ada Yang Mau Urus Organisasi Kiai Ndeso

Pengasuh Ponpes Raudlatut Tholibin, Leteh Rembang, KH. Ahmad Musthofa Bisri (Gus Mus) sesaat sebelum memimpin doa penutup pelantikan PWNU Jawa Tengah di auditorium Unissula Semarang. Foto: dokumentasi

Pengasuh Ponpes Raudlatut Tholibin, Leteh Rembang, KH. Ahmad Musthofa Bisri (Gus Mus) sesaat sebelum memimpin doa penutup pelantikan PWNU Jawa Tengah di auditorium Unissula Semarang. Foto: dokumentasi

Lingkar.co – Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Tholibin, Leteh Rembang, KH. Ahmad Musthofa Bisri (Gus Mus) mengingatkan agar pengurus Nahdlatul Ulama kembali pada tradisi kiai desa. Dirinya pun mengaku heran jika ada ucapan selamat kepada para kiai yang dilantik sebagai pengurus NU.

“Saya tidak akan mengucapkan selamat tapi turut berduka cita, inalillahi wa inna ilaihi raji’un,” kata Gus Mus.

Ulama kharismatik yang juga dikenal sebagai budayawan ini menuturkan hal itu sebelum memimpin doa penutup pelantikan Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah masa khidmat 2024-2029 di Universitas Islam Sultan Agung (Unissula), Semarang, Minggu (3/8/2024).

Sebab menurut Gus Mus, ucapan Selamat atas seremonial pelantikan lebih layak untuk pejabat. Sebab, pada tradisinya hanya kiai dari desa yang mau mengurus NU.

“Saya ingin menyampaikan selamat, tapi saya perlu jelaskan dahulu. Selamat jika kepada para pejabat, itu cocok. Tapi jika untuk kepada pengurus NU, maka saya heran, kok ada yang mau? NU itu organisasi dari desa. Kiai pesantren itu dari desa-desa. Pesantren-pesantren itu sejak dahulu dari desa dan menamakan dirinya dengan desa,” ucapnya.

Sejalan dengan hal itu, Gus Mus juga mengkritik adanya tema kegiatan dalam kegiatan pelantikan PWNU Jawa Tengah.

“Jika di sini memakai tema-tema, maka tidak semua akan paham. Tapi yang Kiai-Kiai desa paham adalah bahwa budaya desa tidak sama dengan budaya kota. Desa tidak perlu dalil rigid, tapi mereka paham menjalankan. Contoh memuliakan tamu, kesederhanaan, dan lain-lain. Berbeda biasanya dengan budaya kota yang seringkali meminta dalil ini dan itu,” ujarnya..

Sebab, menurutnya, perjuangan para kiai desa adalah menanamkan ajaran Islam dan menjadi budaya bahkan peradaban, meski tidak terlalu mempedulikan dalil.

“Sehingga perumusan-perumusan tema itu harus dipahami dan bisa diejawantahkan seperti kiai-kiai itu tadi. Menjadi budaya dan peradaban secara alami. Perjuangan membudayakan perlu terus menerus, sehingga menjadi budaya dan peradaban,” terangnya.

Gus Mus juga mengingatkan bahwa prinsip NU dalam berkhidmah tidak hanya untuk orang NU saja. Melainkan lebih dari itu Khidmah dalam NU untuk seluruh alam. “Bahkan untuk umat Islam, dan kemanusiaan pada umumnya,” ujar Gus Mus.

Jawab Kritik Gus Mus, NU Jateng Teken 12 MoU

Seolah menjawab kritik yang disampaikan oleh Gus Mus, para kiai kampung dan pesantren kini juga memiliki latar belakang sebagai akademisi melakukan terobosan dalam kegiatan pelantikan dengan meneken Memorandum of Understanding atau nota kesepahaman dengan 12 mitra strategis.

Adapun 12 mitra tersebut antara lain dari perguruan tinggi, yayasan swasta hingga instansi pemerintah. Misalnya Universitas Diponegoro, Universitas Islam Sultan Agung, Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang, Universitas Negeri Semarang (Unnes), Yayasan Pendidikan Islam Nasima, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Tengah, Kantor Wilayah Kementerian Agama (Kanwil Kemenag) Jawa Tengah, Dewan Masjid Indonesia (DMI) Jawa Tengah, Baznas Jawa Tengah, Rumah Sakit Jiwa Daerah (RSJD) dr Amino Gondohutomo dan Badan Pengurus Masjid Raya Sheikh Zayed Solo. Kesepahaman ini ada di berbagai bidang mulai dari kegiatan pendidikan, kesehatan, pelayanan sosial, budaya, literasi keuangan hingga penelitian.

Adanya MoU ini diharapkan akan menjadi instrumen untuk memudahkan berbagai kegiatan dan rencana khidmah atau pelayanan yang dilakukan PWNU dan berbagai lembaga yang dinaungi.

Penulis: Ahmad Rifqi Hidayat

Exit mobile version