Site icon Lingkar.co

Urgensi Munaslub P2RPTI Juni 2025 di Blitar: Momentum Penyelamatan Industri Hasil Tembakau Nasional

Ilustrasi petani tembakau. Istimewa

Ilustrasi petani tembakau. Istimewa


Lingkar.co – Industri hasil tembakau (IHT) Indonesia sedang berada di persimpangan. Di tengah tekanan regulasi yang kian ketat, persaingan pasar global, dan ancaman stigmatisasi berlebihan, nasib ribuan pabrik rokok dan jutaan petani tembakau terancam. Munaslub (Musyawarah Nasional Luar Biasa) Perkumpulan Pabrik Rokok dan Petani Tembakau Indonesia (P2RPTI) yang akan digelar pada 1 Juni 2025 di Blitar, Jawa Timur, bukan sekadar agenda rutin organisasi—ini adalah gerakan penyelamatan.

Pertama, Blitar sebagai simbol perlawanan. Jawa Timur, khususnya Blitar dan sekitarnya, adalah jantung penghasil tembakau berkualitas sekaligus basis industri rokok kretek yang menjadi identitas budaya. Memilih Blitar sebagai tuan rumah adalah pesan politis: bahwa IHT harus dilindungi, bukan dimatikan secara perlahan oleh kebijakan yang tidak mempertimbangkan rantai ekonomi di baliknya.

Kedua, krisis regulasi. Munaslub ini harus menjadi momentum untuk menyatukan suara melawan aturan-aturan seperti kenaikan cukai berlapis, pelarangan iklan rokok, atau standar produk yang memberatkan UMKM. Jika tidak ada tekanan terorganisir dari pelaku industri, kebijakan yang timpang akan terus lahir tanpa mempertimbangkan nasib petani tembakau di Kediri, Temanggung, atau Lombok yang hidupnya bergantung pada sektor ini.

Ketiga, ancaman ekonomi hijau. Dunia sedang gencar mendorong transisi ke ekonomi berkelanjutan, dan tembakau kerap dijadikan kambing hitam. Padahal, industri ini menyumbang Rp200 triliun lebih bagi APBN dan menyerap 6 juta tenaga kerja. Munaslub harus menghasilkan strategi untuk mendorong narasi alternatif: bahwa tembakau bisa berkelanjutan dengan pendekatan “tobacco for development”, seperti pemanfaatan limbah tembakau untuk biofuel atau farmasi.

Terakhir, persiapan menghadapi disrupsi. Jika tidak ada adaptasi—misalnya diversifikasi produk, inovasi teknologi pengolahan, atau pembukaan pasar ekspor baru—IHT akan tergerus. Munaslub harus melahirkan peta jalan kolaboratif antara pabrik, petani, dan pemerintah untuk bertahan di era yang semakin kompleks.

Munaslub P2RPTI di Blitar bukan sekadar acara seremonial. Ini adalah pertemuan genting untuk memastikan bahwa asap rokok kretek yang telah menghidupi bangsa selama puluhan tahun tidak padam ditelan zaman. Jika gagal bersikap sekarang, yang terancam bukan hanya perusahaan rokok, tapi juga masa depan keluarga petani dan kearifan lokal yang mengakar di negeri ini.

Agenda Prioritas

Saat ini, P2RPTI menghadapi berbagai macam tantangan, antara lain regulasi yang semakin ketat. Regulasi ini ditandai dengan adanya kenaikan cukai rokok yang berlapis, mengurangi daya beli konsumen dan memukul penjualan. Disamping itu, pelarangan iklan, promosi, dan sponsor (IPS) rokok yang mempersulit pemasaran produk, serta standar produk yang semakin ketat (seperti TAR dan nikotin rendah) yang sulit dipenuhi UMKM.

Selain itu, stigmatisasi dan tekanan kesehatan global dengan kampanye anti-tembakau yang mengabaikan kontribusi ekonomi IHT. Dorongan WHO (FCTC) untuk membatasi produksi tembakau, memengaruhi kebijakan lokal. Adanya persaingan pasar dan disrupsi Industri yang ditandai dengan masuknya produk alternatif (vape, HTP) yang menggerus pasar rokok konvensional. Juga industri rokok besar yang lebih mampu beradaptasi, sementara UMKM terancam gulung tikar. Belum lagi persoalan ancaman terhadap petani tembakau yang terhimpit dengan harga tembakau fluktuatif, sering dimanipulasi oleh tengkulak, serta alih fungsi lahan tembakau karena ketidakpastian pasar.

Adapun hambatan yang dihadapi juga tidak ringan. Pertama, fragmenasi kebijakan di antara pelaku IHT (pabrik besar vs. kecil, petani vs. industri). Kedua, lemahnya lobi politik untuk melawan narasi anti-tembakau di tingkat nasional. Ketiga, kurangnya inovasi dalam diversifikasi produk tembakau. Keempat, keterbatasan akses petani terhadap pembiayaan dan teknologi pengolahan.

Namun demikian, IHT memiliki peluang yang bisa dimanfaatkan, diantaranya adalah potensi pasar dan ekonomi. Ekspor tembakau dan rokok kretek ke negara berkembang (Afrika, Timur Tengah) bisa dilakukan dengan baik. Diversifikasi produk, seperti tembakau untuk farmasi, biofuel, atau produk non-rokok memberikan peluang pengembangan industry tembakau. Penguatan UMKM lokal melalui skema kemitraan pabrik-petani bisa dijadikan model di seluruh pelosok negeri. Juga dukungan politik dan budaya, seperti Blitar dan Jatim sebagai basis politik IHT yang kuat, bisa menjadi pusat advokasi. Kretek sebagai warisan budaya yang harus dilindungi bisa didorong sebagai Geographical Indication/GI. Paling mutakhir adalah perkembangan teknologi dan inovasi, seperti pemanfaatan teknologi pengolahan tembakau lebih efisien (pengeringan, fermentasi) dan pengembangan produk Rduced-Risk (rokok rendah TAR/nikotin) untuk memenuhi regulasi bisa terus dikembangkan.

Oleh karenanya, agenda prioritas yang bisa dibahas sebagai solusi atas berbagai tantangan, hambatan dan peluang tersebut adalah sebagai berikut : Pertama, Advokasi Kebijakan. P2RPTI perlu membentuk tim lobi nasional untuk menegosiasikan kebijakan cukai dan regulasi yang lebih adil, serta memperkuat kolaborasi dengan DPR dan kementerian terkait (Perindustrian, Pertanian, Keuangan). Kedua, Penguatan Rantai Pasok, dengan membangun sistem pemasaran petani tembakau yang mandiri (koperasi, digital marketplace). Dan mendorong insentif bagi pabrik yang serap tembakau lokal. Ketiga, Inovasi & Diversifikasi dengan melakukan riset bersama universitas dan BPPT untuk produk turunan tembakau (ekstrak nikotin medis, biopestisida), serta pelatihan petani & UMKM dalam teknologi pengolahan tembakau berkelanjutan. Keempat, Perlindungan Budaya & Pasar Lokal dengan memperjuangkan “rokok kretek” sebagai warisan budaya Indonesia di UNESCO. Dan endorong kampanye positif tentang kontribusi IHT bagi perekonomian nasional.

Perlu Sinergisitas

Industri Hasil Tembakau (IHT) bukan sekadar bisnis—ia adalah jantung ekonomi kerakyatan yang menghidupi jutaan petani, buruh pabrik, dan UMKM. Namun, masa depannya tergantung pada kolaborasi nyata antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan P2RPTI (Perkumpulan Pabrik Rokok dan Petani Tembakau Indonesia). Tanpa sinergi, IHT akan terus terperangkap dalam dilema antara tekanan regulasi global dan tuntutan ekonomi lokal.

Pertama, Peran Pemerintah Pusat: Regulasi yang Adil & Perlindungan Pasar. Pemerintah Pusat memegang kendali atas cukai, perdagangan, dan kebijakan fiskal yang menentukan hidup-matinya IHT. Namun, kebijakan seringkali terlalu bias pada pendapatan negara, tanpa mempertimbangkan dampak sosial di daerah penghasil tembakau. Untuk itu, perlu: kebijakan cukai yang proporsional, tidak membunuh UMKM rokok tradisional. Perlindungan pasar domestik dari gempuran rokok impor dan produk alternatif (vape/HTP) yang tidak terkendali. Memperjuangkan kepentingan IHT di forum internasional (misalnya menolak kebijakan WHO/FCTC yang ekstrem).
P2RPTI harus aktif berdialog dengan Kementerian Keuangan, Perindustrian, dan Perdagangan, agar kebijakan tidak dibuat secara sepihak.

Kedua, Peran Pemerintah Daerah: Ekosistem Dukungan dari Hulu ke Hilir. Daerah seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, NTB, dan Sumatera Utara adalah tulang punggung IHT. Pemerintah Daerah bisa menjadi jembatan antara petani, pabrik, dan kebijakan pusat dengan cara: mempermudah perizinan dan insentif bagi pabrik rokok yang menyerap tembakau lokal. Membangun infrastruktur pendukung, seperti pusat pengolahan tembakau modern untuk meningkatkan kualitas produksi petani. Mendorong pendidikan vokasi berbasis tembakau, agar ada regenerasi petani dan tenaga kerja terampil di industri ini. Contoh konkret: Pemprov Jatim bisa menggandeng P2RPTI untuk program “Desa Tembakau Mandiri”, di mana petani mendapat pendampingan teknologi dan akses pasar langsung ke pabrik.

Ketiga, Peran P2RPTI: Kekuatan Advokasi dan Inovasi. Sebagai representasi pelaku IHT, P2RPTI harus lebih dari sekadar forum diskusi—ia harus menjadi kekuatan politik-ekonomi yang: menyuarakan kepentingan petani dan pabrik kecil di hadapan pemerintah. Mendorong riset bersama universitas/BPPT untuk diversifikasi produk (misalnya tembakau untuk farmasi atau bioenergi). Membangun sistem pemasaran digital agar petani tidak tergantung tengkulak.

Jika Pemerintah Pusat, Daerah, dan P2RPTI bisa bersinergi, IHT tidak hanya akan bertahan—tapi juga bisa menjadi pilar ekonomi kerakyatan yang berkelanjutan. Namun, jika ego sektoral dan kepentingan politik jangka pendek terus menguasai, maka nasib 6 juta pekerja IHT akan terancam. Munaslub P2RPTI 2025 di Blitar harus menjadi titik balik!

Penulis : Nur Syamsudin

Ketua Litbang DPP P2RPTI, Dosen Ekonomi Politik UIN Walisongo Semarang

Exit mobile version