Warga Terdampak Penggusuran Wadul ke Ganjar, hingga Kini Belum Dapat Tanggapan

BEKAS: Warga menunjukkan rumah yang roboh akibat penggusuran lahan untuk perluasan Stasiun Balapan Solo baru-baru ini.(GALUH SEKAR KINANTHI/KORAN LINGKAR JATENG)
BEKAS: Warga menunjukkan rumah yang roboh akibat penggusuran lahan untuk perluasan Stasiun Balapan Solo baru-baru ini.(GALUH SEKAR KINANTHI/KORAN LINGKAR JATENG)

SURAKARTA, Lingkar.co – Warga Kandang Doro RT 02/RW 06 Kelurahan Kestalan Kecamatan Banjarsari, Solo mengeluhkan tindakan penggusuran tempat tinggal mereka, yang masuk dalam proyek perluasan Stasiun Solo Balapan.

Ketua RT 02 Juhari,70,  mengatakan, pihak kereta api Indonesia (KAI) sudah mendatanginya sejak Agustus 2020 kemarin. Sebelum akhirnya pihak KAI mengirimkan surat sosialisasi pada 8 September 2020 lalu. “Yang nantinya terdampak itu ada 13 Kepala Keluarga (KK). Sedangkan yang dua sudah rumahnya sudah rata dengan tanah. Tinggal 11 KK yang memilih bertahan. Termasuk rumah saya,” ujar Juhari

Ketua Paguyuban warga terdampak penggusuran Yulianto mengaku, telah melakukan mediasi dengan berbagai pihak. Ia mengaku sebelum PT KAI mengadakan sosialisasi pertama tahun lalu, ia mewakili warga telah menemui Walikota Solo FX Hadi Rudyatmo untuk meminta perlindungan.

“Waktu itu, Pak Wali bilang akan menyelesaikan persoalan ini setelah Pilkada. Lalu Pak Wali juga sempat menyurati secara resmi PT KAI. Pak Rudy mengatakan PT KAI boleh merelokasi warganya, namun harus ada ganti yang sepadan, rumah dapat rumah,” terang Yulianto.

Yulianto juga sempat menyurati Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mengenai penggusuran tersebut. Namun, belum ada tindak lanjut mengenai permohonan yang ia ajukan.

Selanjutnya, Yulianto juga sempat mengajukan permohonan kepada Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPRD Kota Surakarta YF Sukasno pada Senin (8/2) lalu. Permohonan tersebut meliputi, Fraksi bisa memperjuangkan keinginan warga.

Png-20230831-120408-0000

Diantaranya, warga tidak menginginkan intimidasi, menunda pelaksanaan pengosongan lahan, menambah nilai ganti rugi yang diberikan KAI semula Rp250 ribu untuk bangunan permanen dan Rp200 ribu untuk non permanen.

“Kami hanya ingin memleroleh keadilan, kalau kami digusur dan mendapatkan ganti rugi yang hanya segitu kami mau tinggal dan hidup bagaimana. Sementara kami sudah tinggal disini lebih dari 50 tahun. Kalau memang ini tanah milik KAI, kami tidak akan mempersulit. Hanya saja berilah kami ganti yang layak seperti kata Pak Wali ‘rumah dapat rumah’,” ungkap Yulianto. (luh/lut)

Sumber: Koran Lingkar Jateng

Dapatkan update berita pilihan dan terkini setiap hari dari lingkar.co dengan mengaktifkan Notifikasi. Lingkar.co tersedia di Google News, s.id/googlenewslingkar , Kanal Telegram t.me/lingkardotco , dan Play Store https://s.id/lingkarapps

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *