Lingkar.co – Untuk mewujudkan kemandirian pangan di Ibu Kota Jawa Tengah, Wali Kota Semarang, Hevearita Gunaryanti Rahayu mendorong sekolah untuk ikut melakukan urban farming.
Menurutnya, Pemerintah Kota Semarang terus mendorong masyarakat melakukan Urban Farming hingga sekolahan, juga untuk menekan angka inflasi di Kota Lunpia.
Oleh karena itu, Ita, sapaan akrab Hevearita juga meminta seluruh sekolah, khususnya SMP Negri di Kota Semarang melaksanakan Urban Farming.
Bahkan, menurutnya, urban farming juga untuk menjadi salah satu mata pelajaran kurikulum merdeka.
“Urban farming bisa menjadi salah satu kegiatan prioritas di sekolah-sekolah, tadi di SMP 39 juga ada dan mulai panen ada sawi, cabai, terong dan diadakan makan bersama buah dan sayur setiap 2 minggu sekali,” ujarnya.
“Saat ini di SMP 1 temanya sawi jadi semua makanan berbahan dasar sawi,” tutur Ita, saat menghadiri kegiatan Smart Urban Farming School di SMP Negeri 1 Semarang, Kamis (10/3/2023).
Selain untuk menakan inflasi dan sebagai kedaulatan pangan, Ita mengatakan, siswa juga bisa berperan sebagai agen perubahan bagi orang tua. Dengan pembelajaran itu, para pelajar juga bisa menerapkan di lingkungan rumah.
“Manfaat bahyak karena tidak perlu beli sayuran, anak bisa menjadi agen perubahan untuk para orang tua, merubah karakter anak lebih sabar dan bergotong royong dan membuat anak-anak lupa dengan gadget,” jelasnya.
Kendati demikian, Ita memaparkan untuk bisa memasifkan urban farming di berbagai lini memang diperlukan gerakan hidup sehat. Terutama bagi anak-anak, karena anak-anak merupakan calon generasi emas di tahun 2045.
Untuk itu para orang tua harus memiliki pemahaman tentang tentang hidup sehat agar bisa memberikan menu bergizi untuk keluarga terutama anak-anak.
“Ini akan menjadi gerakan hidup sehat bahkan murah karena kita menanam sendiri. SMP di Kota Semarang bahkan sudah bergerak melakukan urban farming dan bisa lari ke anak-anak SD,” ucapnya.
Ia juga sudah meminta kepada Dinas Pendidikan dan Dinas Pertanian untuk mengajarkan kepada para siswa membuat bibit tanaman sendiri.
Harapannya jika siswa bisa membuat bibit sendiri maka tidak perlu mengandalkan pasokan bibit dari Dinas Pertanian atau bahkan harus merogoh kocek untuk membeli bibit sendiri.
“Misalnya sawi ungu juga belum banyak dan kita akan mengajarkan untuk membuat benih sendiri dan mengurangi biaya untuk beli benih,” bebernya.
Lebih lanjut Ita juga menyarankan untuk menjual hasil panen di sekolahan ataupun di lingkungan masyarakat kepada Badan Usaha Milik Petani (BUMP). Nantinya dari BUMP bisa dijual ke resto hingga ke pasar.
“Kalau sekolah dan masyarakat sudah banyak yang menanam maka harus ada pemasaran jadi bisa dipasarkan lewat BUMP,” pesannya. (*)
Penulis: Alan Hendry
Editor: Ahmad Rifqi Hidayat