“Kemudian pak ustad dosen mengkaji masjid kami. Lalu ia bilang bahwa kiblatnya salah. Saya kaget karena kiblatnya mengikuti masjid darurat yang ada. Masjid darurat juga ikut tapak bekas masjid terdahulu,” kenangnya saat saat itu terperangah oleh pernyataan dosen agama
Karena persoalan itu, lanjutnya maka pembangunan meunasah tertunda. Sebab, menurut dia hal itu harus melalui musyawarah yang melibatkan pemuka agama setempat. Dirinya merasa khawatir pebentapan arah kiblat tidak ada titik temu bisa merusak persaudaraan relawan dan warga korban bencana.
“Tetapi, saya kagum dan bersyukur, tetua dengan bijaksananya, berkata bahwa mereka ikuti terdahulunya tetapi tidak tahu yang benar karena awam ilmu falak. Maka bila ustadz dosen bersumpah dan berilmu, maka kami ikuti saja, ucapnya menirukan tetua adat.
Singkat cerita, kuda-kuda besar sudah jadi, warga pun dikumpulkan untuk kembali kerja bakti pada hari Jumat jam 09:30 waktu setempat untuk mengikuti upacara penyejuk adat. Namun 4 orang relawan sudah kerja sejak pagi. Kerangka dinding pun jadi sekitar 1 jam, dan warga meminta untuk langsung digunakan salat Jumat.
Namun warga tidak bersedia untuk melanjutkan pembangunan, dan meminta untuk dilanjutkan pada Jumat selanjutnya. “Saya tak bisa jawab apa-apa. Cuma bayangkan, Ketua PMI kami sudah kami undang minggu depan untuk datang dan resmikan. Kalau kerja lagi jumat depan, maka tidak bakal jadi kalau kami pulang,” batinnya waktu itu.
Ia melanjutkan, tanpa terasa empat orang tim relawan meneteskan air mata karena sedih. Dalam benak para relawan Ingin segera mewujudkan permintaan warga kembali memiliki meunasah, namun pada prosesnya kurang bantuan tenaga dari masyarakat.

Kemudian, Arsyad memahami hal itu menyapanya. “Pak Budi jangan sedih, pasang kuda-kuda itu, kita berenam saja cukup,” ujarnya mengenang pernyataan yang menjadi penyemangat.
Benar saja, seusai salat Jumat dan makan siang dengan bekal seadanya, Arsyad pun memimpin untuk menyempurnakan kuda-kuda dan dinding. Namun karena butuh 6 orang, maka mereka mendatangi 2 orang terdekat dan minta bantuan untuk ikut kerja.
“Kali ini saya bilang, bahwa kami bayar penuh untuk kerjanya. Ini pelanggaran aturan saya yang selama ini tidak ada ongkos tukang apapun dalam kerja kemanusiaan, dan masjid (meunasah) pertama paling besar dipantai pantai barat Aceh terlanda tsunami,” tuturnya bangga.
“Meunasah Leupung 2005 kebanggaan kami karena terbesar dan pertama di pantai barat Aceh. Walau kemudian terbangun masjid-masjid lebih besar, kami masih merasa hati yang bahagia sekali,” ucapnya. (arh)