Bedah Buku “Polisi Istimewa” Ungkap Sosok Bambang Suprapto, Tokoh yang Terlupakan di Pertempuran Lima Hari di Semarang

Hendi Jo, penulis buku Polisi Istimewa (Special Police Force) In The Midst of The Revolution”. (dok Alan Henry)
Hendi Jo, penulis buku Polisi Istimewa (Special Police Force) In The Midst of The Revolution”. (dok Alan Henry)

Lingkar.co – Sosok Bambang Suprapto, pimpinan Polisi Istimewa yang menjadi penggerak perlawanan dalam pertempuran lima hari di Semarang, kembali diangkat ke permukaan lewat buku terbaru karya Hendi Jo berjudul “Polisi Istimewa (Special Police Force) In The Midst of The Revolution”.

Buku tersebut dibedah dalam acara di Wisma Perdamaian, Senin (20/10/2025), dan membuka kembali lembar sejarah yang selama ini jarang disebut dalam narasi besar revolusi Indonesia.

Penulis buku, Hendi Jo, mengaku penulisan kisah Bambang Suprapto terjadi tanpa rencana khusus. Biasanya ia menulis sejarah militer, namun kali ini ia justru diminta oleh keluarga besar almarhum untuk menulis perjalanan hidup tokoh Polisi Istimewa yang berjuang di Semarang pada masa revolusi.

“Sebetulnya ini terjadi dengan ketidaksengajaan. Biasanya saya menulis tentang sejarah militer, tapi kali ini saya didapuk oleh keluarga besar Bambang Suprapto untuk menulis sejarah beliau,” tutur Hendi Jo saat ditemui Lingkar.co.

Hendi mengaku tidak mengenal langsung sosok Bambang Suprapto. Namun, keterbatasan data justru menjadi tantangan tersendiri yang akhirnya membawanya menemukan banyak fakta baru. Ia menilai, inisiatif keluarga dalam mendukung penulisan buku ini menjadi kunci utama keberhasilan riset.

“Selama ini orang yang ingin memperdalam sosok Pak Bambang selalu terhambat oleh minimnya data. Anak-anak beliau memberikan dukungan besar agar kisah ini bisa ditulis,” jelasnya.

Menurutnya, kehadiran buku ini menambah kelengkapan catatan sejarah militer Indonesia — bukan hanya dari sisi TNI, tetapi juga kepolisian yang turut berperan dalam perjuangan kemerdekaan.

“Selama ini kita mengenal sejarah militer dari sisi darat, laut, dan udara. Sekarang, lewat kisah Bambang Suprapto, kita mengenal kiprah kepolisian dalam revolusi,” tambah Hendi.

Bambang Suprapto, kata Hendi, dikenal sebagai sosok yang rendah hati dan enggan menonjolkan diri. Ia yakin, jika masih hidup, tokoh tersebut akan menolak keras dijadikan pahlawan nasional.

“Secara kepribadian beliau itu tipikal intelijen, sangat low profile. Tapi kalau kisahnya tidak ditulis, kebenaran itu akan hilang,” ujar Hendi.

Bedah buku Polisi Istimewa di Wisma Perdamaian. (dok Alan Henry)

Ia berharap buku ini dapat membuka mata publik bahwa banyak sosok kepolisian berperan besar dalam mempertahankan kemerdekaan, namun terlupakan dalam narasi sejarah arus utama.

Hendi Jo menegaskan bahwa penulisan buku ini dilakukan secara independen, tanpa afiliasi dengan lembaga pemerintah.
Namun ia berharap, hasil riset tersebut dapat memberikan kontribusi bagi dunia akademik dan menjadi bagian dari kajian sejarah lokal di Jawa Tengah.

“Kami tidak menulis atas nama lembaga mana pun. Tapi kalau karya ini bisa diapresiasi dan dijadikan referensi dalam sejarah nasional, tentu akan sangat berarti,” pungkasnya.

Sementara itu, pengamat sejarah Tri Subekso, yang turut hadir dalam acara bedah buku, menilai karya Hendi Jo ini penting karena memberikan jawaban atas pertanyaan besar dalam sejarah pertempuran lima hari di Semarang, siapa tokoh sentral di balik perlawanan rakyat, polisi istimewa, dan gerilyawan melawan Jepang?

“Selama ini kita hanya mengenal dr. Kariadi sebagai sosok kunci dalam awal peristiwa. Tapi siapa yang menggerakkan pasukan dan rakyat setelahnya, itu nyaris tidak pernah diulas. Lewat buku ini, kita tahu tokoh itu adalah Bambang Suprapto,” ungkap Tri.

Tri menjelaskan, Bambang Suprapto berperan memobilisasi pasukan Polisi Istimewa dan rakyat sipil untuk melawan tentara Jepang, meski harus dibayar dengan banyak korban jiwa.
Ia mengutip catatan Den Andriesen yang menyebutkan sekitar 2.004 warga Semarang gugur dalam peristiwa tersebut.

“Beliau menjadi penggerak yang mampu memimpin dalam situasi kacau. Nilai idealisme dan keberaniannya luar biasa. Ia rela mengorbankan diri untuk melindungi anak buahnya,” jelasnya.

Tri menambahkan, lewat buku ini masyarakat dapat menelaah sisi kemanusiaan dan kepemimpinan Bambang Suprapto yang selama ini luput dari sorotan publik.

“Kalau melihat perannya, saya pikir Bambang Suprapto sangat layak untuk diajukan sebagai pahlawan nasional. Secara ketokohan, beliau sejajar dengan pejuang di Palagan Ambarawa atau Surabaya,” tegas Tri.

Melalui Polisi Istimewa (Special Police Force) In The Midst of The Revolution, publik akhirnya diajak mengenal sosok Bambang Suprapto, polisi istimewa yang berjuang dalam senyap, namun meninggalkan jejak besar dalam sejarah kemerdekaan Indonesia. ***