Lingkar.co – Sebagai lembaga antirasuah, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang melewati perjalanannya dengan berbagai macam polemik.
Mulai dari drama cicak versus buaya, kasus Antasari, penyiraman air keras ke penyidik KPK Novel Baswedan dan baru-baru ini terjadi lagi polemik berupa Tes Wawasan Kebangsaan (TWK).
Bagaimana tidak terjadi polemik? TWK yang di laksanakan KPK dalam proses pengalihan status pegawai KPK mejadi Aparatus Sipil Negara (ASN) menuai banyak permasalahan.
Alhasil terdapat sejumlah 51 orang dari 75 pegawai di nyatakan tidak memenuhi kriteria menjadi ASN dengan dalih tidak lulus Tes Wawasan Kebangsaan (TWK).
Nasib 51 pegawai yang dinyatakan tidak lulus TWK tersebut diancam dibebastugaskan alias dipecat.
Baca juga:
Ketua KPK Absen dari Debat Terbuka Terkait Polemik Tes Wawasan Kebangsaan
Pegawai yang di nyatakan tidak lulus TWK bukan pegawai sembarangan, beberapa pegawai tersebut justru memiliki integritas, loyalitas dan rekam jejak yang baik dalam pemberantasan korupsi.
Diantaranya adalah penyidik senior Novel Baswedan yang menangani perkara suap Bank Indonesia hingga e-KTP, Harun Al Rasyid sang raja OTT.
Dan juga mengungkap posisi Harun Masiku berada di Indonesia, Rizka Anungnata Penyidik yang menangani kasus benih lobster dan juga pernah pegang kasus suap komisioner KPU, serta Andre Nainggolan yang menagani kasus korupsi Bansos.
Selain itu masih ada beberapa diantaranya Ronal Paul dan Yudi Purnomo yang juga penyidik dalam kasus harun masiku dan kasus benih lobster.
Baca juga:
Dugaan Suap Jerat Penyidik KPK Seret Nama Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin
Pengalihan Status Pegawai Tidak Boleh Merugikan Hak Pegawai KPK
Pemecatan 51 pegawai KPK adalah suatu hal yang sangat inkonstitusional, ketika merujuk kepada dasar hukum keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) MK Nomor: 70/PUU-XVII/2019.
Memutuskan bahwa pengalihan status pegawai tidak boleh merugikan hak pegawai KPK untuk diangkat menjadi ASN dengan alasan apapun.
Sebab, para pegawai KPK selama ini telah mengabdi di KPK dan dedikasinya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi tidak di ragukan.
Artinya, proses peralihan status menjadi ASN tidak boleh dengan cara memecat pegawai KPK, karena bisa timbul kerugian hak bagi pegawai.
Baca juga:
KPK Terima 86 Laporan Penerimaan Gratifikasi, Ada Bingkisan Senilai Rp 25 hingga Rp 148 Juta
Pemecatan 51 pegawai telah melanggar hak asasi manusia dengan munculnya sikap diskriminatif dalam proses pengalihan status.
Peristiwa tersebut telah melanggar norma dalam Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”.
Sangat memprihatinkan jika melihat kondisi lembaga antirasuah KPK sekarang ini. Sejak di sahkannya Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019.
Berisi tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi oleh Presiden Joko Widodo.
KPK menjadi semakin terkikis independensinya dan juga dalam penanganan tindak Pidana Korupsi.
KPK dulu menjadi lembaga dengan tingkat kepercayaan publik paling tinggi. Jauh di atas Presiden, Polisi, Pengadilan apalagi DPR. Namun saat ini rilis Lembaga Survei Indonesia terbaru Tahun 2021.
Tingkat kepuasan masyarakat terhadap lembaga KPK yang biasanya lebih dari 70 persen kini turun drastis menjadi kurang dari 55 persen.
Dalam sejarahnya KPK di bentuk karena dorongan kenyataan bahwa fungsi lembaga yang ada sebelumnya, kepolisian dan kejaksaan dirasa tidak mampu menangani kejahatan kelas kakap white collar crime (kejahatan kerah putih) berupa tindak pidana korupsi.
Sederet tokoh aktivis penggiat anti korupsi, salah satunya Busyro Muqoddas Mantan Wakil Ketua KPK sekaligus Ketua PP Muhammadiyah Bidang Hukum dan HAM serta Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik.
Baca juga:
Geledah Rumah Dinas Azis Syamsuddin, KPK Amankan Sejumlah Dokumen
“Membiarkan kejahatan itu sama artinya dengan melakukan kejahatan”
Dengan memakai adagium “Membiarkan kejahatan itu sama artinya dengan melakukan kejahatan”, Busyro mendesak Presiden Joko Widodo membatalkan hasil tes wawasan kebangsaan.
Langkah Busyro merupakan langkah yang tepat, karena adanya tes dan pengurangan pegawai di KPK sama sekali tidak memiliki landasan hukum yang kuat alias cacat hukum, proses tersebut hanya tafsir hukum yang sesat dan bersifat subyektif dari pimpinan KPK.
Pengalihan status pegawai menjadi ASN, berbeda dengan pengadaan pegawai ASN. Pengalihan status tidak perlu adanya tes atau bahkan pengurangan pegawai, cukup langsung saja statusnya beralih menjadi ASN.
Wacana pembubaran KPK memang sudah lama mengemuka, namun publik hingga saat ini masih berharap lembaga tersebut tetap eksis dalam pemberantasan korupsi.
Tidak heran jika KPK menjadi momok bagi oknum pejabat atau pembisnis korup, apalagi KPK memliki tingkat kepercayaan tinggi di masyarakat.
Baca juga:
Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Ditjen Pajak Dipanggil KPK
Menyadari hal tersebut para elite mencoba mulai perlahan-lahan melemahkan KPK melalui jalan yuridis dan sosiologis dengan cara membenturkan KPK dengan masyarakat.
Sehingga masyarakat nantinya terbentuk mindset tidak respect lagi terhadap KPK, hal ini di buktikan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap KPK yang mulai menurun.
Berdasar literatur Hukum Tata Negara, terbentuknya kelembagaan negara di Indonesia terbagi menjadi 3 kategori:
- Lembaga yang di bentuk atas perintah UUD 1945;
- Lembaga yang di bentuk atas perintah Undang-Undang;
- Lembaga negara yang di bentuk atas perintah Keputusan Presiden.
Lembaga KPK adalah lembaga yang masuk dalam kategori kedua, sama seperti halnya Komnas HAM, KPI, KPPU, KKR, Bawaslu dan lembaga-lemabaga lain yang singkatannya terlalu malas untuk saya tuliskan.
Tapi poin pentingnya, lembaga di kategori kedua dan ketiga ini sangat rentan untuk dibubarkan.
Baca juga:
Produk Pertanian Gresik Kini Masuk Dalam Pasar Modern
Hal ini karena cukup melalui pengujian judicial review ke Mahkamah Konstitusi, DPR dan pemerintah mengeluarkan produk hukum berupa perubahan Undang-Undang, atau mengeluarkan Perppu yang isinya pembubaran lembaga tersebut.
So, semua itu sudah ada dalam skenario, tinggal menunggu waktu saja untuk pembubaran KPK.
Oleh:
Fadhlil Wafi Fauzi, S.H
Ketua Bidang Hikmah dan Hubal Pemuda Muhammdiyah Kota Kudus
Editor: (luh)