Lingkar.co – Wakil Gubernur Jawa Tengah, H Taj Yasin Maimoen, mengungkapkan bahwa beberapa peristiwa, seperti runtuhnya bangunan di Sidoarjo kemudian Lampung dan lainnya, kerap disalahpahami dengan tuduhan yang tidak tepat terhadap tradisi ‘Roan’ dalam pembangunan pesantren.
Buntut dari peristiwa tersebut, tidak jarang pesantren dituding abai terhadap keselamatan karena dianggap melibatkan santri dalam pekerjaan konstruksi.
Gus Yasin, sapaan akrab Wagub Jateng ini pun mengaku terimbas dengan berbagai pertanyaan yang ditujukan kepada dirinya.
“Pertanyaan datang bertubi-tubi kepada saya, apalagi saya dikenal sebagai santri. Mereka tanya, apakah santri ikut bangun pondok? Saya jelaskan, pembangunan itu ada aturannya. Pengecoran misalnya, tidak boleh putus, waktunya ketat. Itu bukan kata kiai, tapi kata ahli konstruksi,” ujarnya.
“Pertanyaan datang bertubi-tubi kepada saya, apalagi saya dikenal sebagai santri. Mereka tanya, apakah santri ikut bangun pondok? Saya jelaskan, pembangunan itu ada aturannya. Pengecoran misalnya, tidak boleh putus, waktunya ketat. Itu bukan kata kiai, tapi kata ahli konstruksi,” ujarnya.
Ia mengungkapkan hal itu saat membuka secara resmi Pekan Madaris Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) PWNU Jawa Tengah di Pondok Pesantren Walisongo Pecangaan, Jepara, Sabtu (11/10/2025).
Atas beredarnya beragam opini publik yang negatif itu, dirinya menyampaikan keprihatinan sekaligus memberikan klarifikasi atas maraknya opini publik yang mengaitkan musibah robohnya bangunan yang dikaitkan dengan pesantren.
Menurutnya, tradisi roan atau gotong royong yang dilakukan santri kerap disalahartikan. Santri, kata dia, hanya membantu melangsir material karena keterbatasan akses kendaraan besar seperti truk molen ke area pesantren dan itu tidak semuanya santri. Bukan berarti pesantren abai terhadap teknis pembangunan.
“Tidak semua pondok bisa dimasuki alat berat. Maka santri diminta bantu melangsir semen atau pasir, agar pengecoran selesai dalam satu malam. Itu bagian dari kebersamaan, bukan pelanggaran,” tegasnya.
Nah ini yang dilakukan oleh pondok pesantren, makanya saya pingin agar kita bersama-sama menerangkan kepada masyarakat sehingga nilai-nilai keberkahan yang ada di pesantren itu bisa dirasakan oleh masyarakat, bisa diketahui dan dipahami oleh masyarakat tentang kalimat roan, kalimat barokah, terang pengasuh pesantren Al Anwar Sarang Rembang ini.
Lebih lanjut, Gus Yasin mengungkapkan bahwa Pemerintah Provinsi Jawa Tengah bekerja sama dengan PWNU dan Baznas telah memberikan pelatihan konstruksi kepada para santri. Pelatihan tersebut pernah digelar di Pekalongan dan Solo, dan banyak peserta yang diterima bekerja di perusahaan-perusahaan konstruksi profesional, bahkan hingga luar negeri.
“Artinya ilmu itu bisa dipelajari. Pondok pesantren berbasis ilmu agama, tapi kami juga ingin santri memiliki pengetahuan umum lainnya,” ujarnya.
Ia mencontohkan bangunan yang ada di Sarang itu sebagai mandor langsung di bawah pengawasan KH Maimoen Zubair pada 1991. Meski tanpa cor modern, bangunan tersebut hingga kini tetap kokoh tanpa retakan, menjadi bukti bahwa tradisi pesantren mengandung kearifan yang dapat dipertanggungjawabkan.
“PR kita masih banyak. Kita harus terus bersinergi, berkoordinasi, dan memberikan informasi agar pesantren terlindungi dan tidak disalahpahami,” pungkasnya. (*)








