Berita  

Konflik Lagi, Kali Ini Sudah Tunjukan SK Pengelolaan Hutan dari Presiden, Namun Oknum Petugas Hutan Ngotot Larang Petani Garap Lahan

Foto: Lilik Yuliantoro
Foto: Lilik Yuliantoro

Lingkar.co – Konflik penggarapan lahan hutan terjadi lagi di Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Bahkan, oknum petugas tetap ngotot melarang petani hutan menggarap lahan, meski sudah menunjukkan surat keputusan (SK) yang diberikan oleh Presiden Joko Widodo, belum lama ini.

Peristiwa itu menimpa petani hutan asal Desa Jepangrejo, Lastari, ketika ia hendak menggarap lahan didatangi oleh oknum petugas yang mengaku sebagai waker dan mantri perhutani.

Kepada Lingkar.co, Sabtu (8/4/2023), ia menceritakan peristiwa tersebut terjadi sekitar pukul 11.00 WIB, dimana saat itu dirinya sedang melakukan pembersihan lahan menggunakan mesin rumput.

Tanpa pernah dinyana, secara tiba-tiba datang dua oknum petugas tersebut menghampiri untuk segera menghentikan kegiatannya.

“Tiba-tiba mereka datang dan melarang kami untuk melanjutkan pekerjaan bersih-bersih,” katanya.

Merasa telah mendapatkan hak untuk mengelola lahan, ia pun sempat membela diri. Maka, terjadilah adu argumen selama kurang lebih 30 menit.

“Keduanya meminta kami untuk menunjukkan SK penggunaan lahan, sehingga saya menghubungi orang yang di rumah untuk membawakan SK pengelolaan yang diberikan oleh presiden. Padahal kami menggarap lahan tahunan itu sudah 13 tahun,” ungkapnya.

Bukti yang dimaksud Lastari adalah Surat Keputusan (SK) Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang Daftar Indikatif Kelompok dalam Proses Perhutanan Sosial pada Kawasan Hutan Seluas 11.582 hektare.

Namun, alih-alih mengaku salah, kedua orang tersebut malah mengaku tidak bisa menerima SK yang ditunjukkan oleh Lastari.

Bahkan, yang membuat lebih Lastari prihatin, kedua oknum tersebut menyatakan akan membuatkan surat pernyataan pelarangan menggarap lahan tahunan.

Mendapati fakta tersebut, ia bersama petani lainnya sepakat untuk pulang dari lahan tahunan terlebih dahulu. Para petani pun bertekat tetap menggarap lahan hutan selama kedua oknum petugas tersebut tidak menunjukkan bukti larangan mengelola hutan.

“Kami masih menunggu surat yang katanya akan dibuatkan oleh mereka. Selama mereka belum memberikan surat tersebut, ya kami tetap lanjut menggarap lahan tahunan ini,” tegasnya.

Untuk mendapatkan kejelasan tersebut, Lingkar.co telah melakukan konfirmasi kepada pihak perhutani melalui WhatsApp. Namun, hingga saat ini, pihak perhutani enggan memberikan jawaban.

Peristiwa Sebelumnya.

Selain Lastari, kejadian serupa juga pernah terjadi beberapa waktu lalu. Beredar sebuah video pendek berdurasi kurang lebih satu menit di aplikasi percakapan WhatsApp.

Dalam video tersebut, nampak seorang yang diduga oknum petugas perhutani yang sedang memarahi para petani hutan untuk melakukan pengelolaan hutan.

Bahkan, oknum petugas menganggap petani hutan seperti babi hutan (Celeng, Jawa) karena dianggap tak memiliki etika.

“Etika, Kowe ngerti etika po ra? sopan santun umume wong Jowo lho. Mosok kowe kepingin kayak celeng ngalor-ngidul,” ucap oknum petugas perhutani menggunakan bahasa Jawa dalam video tersebut.

(Etika, kamu tahu etika apa tidak? Sopan santun lazimnya orang Jawa lho. Masak kamu ingin seperti babi hutan yang larian kesana kemari,-red).

Setelah ditelusuri, video yang beredar itu dialami oleh petani hutan KTH Sejati Urip Bogorejo. Dan lokasinya berada di KPH Kebonharjo, wilayah Dukuh Kembang, Desa Jurangjero, Kecamatan Bogorejo, Kabupaten Blora Jawa Tengah.

Pasca kejadian tersebut, Lingkar.co pun meminta pendapat orang nomor satu di Blora, yakni Bupati Arief Rohman.

Bupati mengakui bahwa ia sudah mendengar kejadian tersebut dan sudah melaporkan kepada Direksi Perum Perhutani Pusat, untuk mencegah konflik antara para petani hutan dengan petugas Perum Perhutani di Blora.

Selain itu, Bupati juga meminta Administratur Perhutani KPH Kebonharjo untuk membuat laporan tertulis kronologi kejadian dengan lengkap.

“Kita akan terus berkoordinasi dengan semua pihak agar suasananya tetap adem dan kondusif, berkoordinasi dan berkomunikasi dengan semua pihak,” tuturnya.

“Agar bisa duduk bareng berkomunikasi untuk mencari solusi terhadap persoalan yang muncul di lapangan sesuai dengan peraturan yang berlaku, agar Blora kondusif,” pungkasnya. (*)

Penulis: Lilik Yuliantoro
Editor: Ahmad Rifqi Hidayat