Lingkar.co – Dinas Sosial (Dinsos) Kota Semarang memastikan kuota siswa untuk Sekolah Rakyat tahap awal telah terpenuhi. Proses pembelajaran direncanakan akan mulai berjalan pada 30 September 2025.
Kepala Dinsos Kota Semarang, Heroe Soekandar, mengatakan sebanyak 100 siswa dari keluarga tidak mampu sudah terdata dan siap mengikuti kegiatan belajar di Sekolah Rakyat. Rinciannya, 50 anak tingkat SD dan 50 anak tingkat SMA yang berasal dari kategori Desil 1 dan Desil 2.
“Kuota siswa sudah terpenuhi, masing-masing 50 untuk SD dan 50 untuk SMA. Untuk SMP, sementara ini belum dibuka oleh Kementerian, kemungkinan akan menyusul pada tahun 2026,” ujarnya, Selasa (23/9/2025).
Heroe menjelaskan, Surat Keputusan (SK) terkait pembukaan sekolah masih dalam proses finalisasi karena membutuhkan data pendukung dari kelurahan dan kecamatan. Namun, hal ini tidak menjadi kendala berarti.
“SK-nya tinggal menunggu kelengkapan data dari wilayah. Kalau sudah lengkap, langsung kami ajukan ke Bu Wali untuk ditandatangani,” terangnya.
Dinsos juga masih menggelar rapat koordinasi dengan Kementerian Sosial guna mematangkan Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) yang akan berlangsung menjelang akhir bulan.
“Kami masih ada beberapa rapat untuk menentukan mekanisme MPLS, siapa saja yang perlu diundang, dan hal-hal teknis lainnya,” tambahnya.
Pada tahap awal, Sekolah Rakyat akan menggunakan gedung Balai Besar Pelatihan Vokasi dan Produktivitas (BBPVP) di Pedurungan.
Heroe memastikan kebutuhan tenaga pengajar maupun pendukung sudah siap. Total tersedia 19 guru, 1 kepala sekolah, 10 wali asuh dari pendamping Program Keluarga Harapan (PKH), ditambah enam tenaga keamanan serta beberapa petugas kebersihan.
“Kebutuhan tenaga kerja sudah lengkap. Wali asuh ada 10 orang dari pendamping PKH, guru 19 orang, kepala sekolah 1 orang, dan tenaga lainnya seperti cleaning service dan security juga sudah tersedia,” jelasnya.
Selain itu, Dinsos juga bekerja sama dengan sejumlah vendor untuk penyediaan konsumsi dan perlengkapan belajar.
Menjawab kemungkinan adanya siswa cadangan, Heroe menegaskan belum ada sistem resmi yang diberlakukan untuk menghindari kesalahpahaman di masyarakat.
“Untuk saat ini kita fokus pada 50 siswa SD dan 50 SMA dulu. Kalau ada yang mundur, baru kita isi. Tapi kami hindari penggunaan istilah ‘cadangan’ agar tidak menimbulkan harapan berlebihan,” pungkasnya. ***