JAKARTA, Lingkar.co – Keketuaan Indonesia dalam presidensi G20 memiliki arti yang cukup strategis. Tidak sekadar sebagai tuan rumah dengan pelbagai efek domino di sektor ekonomi, perhelatan konferensi tingkat tinggi (KTT) G20 ke-17 di Bali pada 15-16 November 2022 juga memiliki makna penting bagi Indonesia untuk berperan optimal dalam mendorong nilai keadilan (equity) dan kemanusiaan (humanity).
Isu keadilan dan kemanusiaan secara inheren menjadi amanat konstitusi dan menjadi salah satu alasan mengapa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini didirikan oleh para pendiri bangsa (the founding fathers) kita dulu. Karena itu, perhelatan G20 dengan latar persoalan yang belakangan mengemuka, persoalan keadilan dan perdamaian menjadi isu inti yang dapat diderivasikan ke pelbagai sektor seperti politik, ekonomi, sosial, hak asasi manusia (HAM), serta isu publik lainnya.
Salah satu persoalan yang mengemuka tak lain soal perang Rusia versus Ukraina, relasi Amerika Serikat-China. Serta mencuatnya ketegangan antarnegara di sejumlah negara dan kawasan.
Selain masalah tersebut, ancaman krisis finansial dan pangan yang salah satunya dipicu oleh ketegangan di sejumlah negara dan kawasan serta pemulihan pascapandemi COVID-19 juga menjadi isu yang tidak sekadar dibahas, namun juga dicarikan jalan keluar melalui forum G20 di Bali.
Di poin tersebutlah, Indonesia dapat memerankan secara optimal perannya, yang sejatinya sebagai wujud pelaksanaan amanat Pancasila dan UUD 1945. Tentu, posisi Indonesia sebagai keketuaan G-20 ini tidak disimplifikasi sekadar menjadi tuan rumah yang baik. Namun lebih dari itu, Indonesia harus menjadi faktor penting untuk menjadikan forum G20 ini sebagai titik pijak (milestone) dalam tata kelola baru dunia yang berdasarkan pada keadilan dan kemanusiaan.
Keadilan
Salah satu landasan lahirnya G20 pada tahun 1999 silam lalu tak lain untuk mendorong akselerasi perekonomian global yang berdasarkan pada inklusifitas, keberlanjutan, dan keseimbangan.
Konsep kolaborasi antara negara maju dan negara berkembang menjadi landasan yang kuat dalam melahirkan kerja sama yang berbasis economic governance yang berorientasi keadilan, peningkatan kualitas hidup (quality of life) dan mengurangi kemiskinan (poverty). Karena itu, konsepsi keadilan secara normatif menjadi landasan lahirnya konferensi yang bermula dari G7 ini. Isu keadilan harus menjadi dasar dalam merumuskan setiap kesepakatan antar-negara.
Setiap rumusan kesepakatan dilandasi pada spirit penguatan kepada negara-negara yang belum maju. Di sisi yang lain, setiap kesepakatan juga harus memberi ruang kepada negara maju untuk menguatkan negara-negara berkembang.
Spirit keadilan ini idealnya menjadi basis dalam tata kelola dunia sebagai respons terhadap pelbagai masalah yang muncul belakangan ini. Eskalasi yang diakibatkan pandemi COVID-19 serta persoalan yang belakangan muncul, harus direspons secara mendasar dengan membuat konsensus baru bagi negara-negara di dunia.
Seperti dalam catatan Klaus Schwab, Direktur Eksekutif Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum), dalam bukunya ‘Covid-19: The Great Reset’ (Juni, 2020) secara khusus menyoroti akibat pandemi COVID-19 dengan menyerukan penataan ulang secara besar-besaran (great reset).
Schwab menyebutkan terdapat lima sektor untuk dilakukan penataan yakni ekonomi (economic reset), masyarakat (societal reset), geopolitik (geopolitical reset), lingkungan (enviromental reset) dan teknologi (technologial reset). Penataan ulang itu semestinya didasari pada sisi keadilan antar-negara.
Konsensus negara-negara yang tergabung dalam G20 juga semestinya dimaksudkan sebagai respons atas persoalan yang terjadi saat ini. Respons terhadap persoalan ekonomi global serta tantangan krisis pangan harus didasari pada semangat kemanusiaan (humanity) yang berkeadilan. Nilai kemanusiaan menjadi guidance dalam melahirkan konsensus antar-negara yang tergabung dalam G20.

Kemanusiaan
Isu kemanusiaan menjadi nilai etik sekaligus pembatas untuk menjadikan forum G20 memiliki makna yang penting bagi peradaban dunia. Kemajuan peradaban harus ditopang dengan nilai kemanusiaan yang melampaui batas teritorial antarnegara.
Sejumlah persoalan yang mengemuka seperti perang antara Rusia versus Ukraina serta ketegangan antarnegara di sejumlah kawasan semestinya dapat dihentikan atas dasar kemanusiaan. Perang dan konflik antarnegara, ujungnya hanya bakal mengikis nilai-nilai kemanusiaan yang adiluhung itu. Perang telah memberikan catatan buruk bagi anak, perempuan dan kelompok rentan lainnya. Karena senyatanya, perang bertolak belakang dengan nilai kemanusiaan.
Ketegangan antarnegara yang belakangan muncul harus dicarikan jalan keluarnya dengan membuka ruang-ruang dialog yang inklusif, terbuka, dan jujur. Institusi di luar negara, seperti agama, patut juga dilibatkan sebagai bagian penting untuk mempromosikan dan mendorong perdamaian di dunia.
Inisiasi yang muncul dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) melalui pertemuan Religion Twenty (R20) awal November kemarin menjadi langkah progresif untuk menghadirkan nilai agama yang beririsan dengan nilai kemanusiaan, sebagai unsur penting untuk mendorong perdamaian. Agama harus menjadi bagian dari solusi, bukan justru sebaliknya agama menjadi momok dan pemicu masalah tersendiri.
Di sisi yang lain, kontribusi dan keterlibatan masyarakat sipil (civil society) dalam menghadirkan tatanan dunia yang humanis memiliki posisi penting untuk memberikan pikiran alternatif sekaligus sebagai mitra strategis bagi negara (state) dalam menghadirkan ruang publik yang menjadikan nilai kemanusiaan sebagai dasar pembentukan kebijakan publik.
Pertemuan G20 harus memiliki makna penting dalam menghadirkan keadilan dan kemanusiaan bagi tatanan dunia. Tata kelola dunia harus dikembalikan pada jalur yang luhur yakni berkeadilan dan berkemanusiaan.
Bukan kebetulan, jika posisi Indonesia dalam kapasitasnya pemegang keketuaan G20 ini secara substansial memiliki modal dasar yang penting yakni melalui keberadaan Pancasila dan UUD 1945 memiliki spirit kuat tentang keadilan dan kemanusiaan.
H. M. Arwani Thomafi, Anggota Komisi I DPR RI