Menyemai Budaya Sadar Diri di Era Literasi Digital

Nur Syafaáh, M.Pd.
Dosen UIN Walisongo, Nur Syafaáh, M.Pd. Foto: dokumentasi

Secara faktual, gerakan kembali kepada budaya sadar diri perlu menjadi sebuah perhatian dalam materi khusus dalam seminar, sosialisasi maupun pendidikan literasi digital sebagaimana sekolah karakter yang diikuti oleh pelajar pada musim libur panjang. Sadar diri yang paling rendah dalam budaya digital akan meminimalisir kegaduhan di media sosial. Sadar diri bukan ahli agama tentu tidak akan berani berkomentar tentang agama, sadar diri bukan ahli ekonomi tentunya sangat berhati-hati untuk tidak terpancing berkomentar terhadap situasi perkembangan ekonomi. Ringkasnya, sadar diri bukan sebagai orang yang kompeten pada hal-hal tertentu akan menjadikan diri ikut memperkeruh suasana.

Bangsa Besar

Kilas balik tentang sejarah literasi pada masa Hindia Belanda menunjukkan bahwa terjadi pembodohan secara merata terhadap warga pribumi (bangsa Indonesia) pada era tanam paksa. Setelah itu muncul politik etis sebagai kebijakan baru dengan adanya akses pendidikan yang layak hanya dinikmati oleh kalangan tertentu. Yakni golongan bangsawan. Imbas dari kependudukan Belanda di Indonesia nampak pada menurunnya budaya membaca dan belajar. Penjajahan terbesar bukan dalam urusan ekonomi, namun menghilangkan kesadaran akan diri sebagai bangsa yang besar.

Namun jauh sebelum itu, bangsa ini telah mengenal budaya menulis. Hal itu terbukti dengan adanya beberapa aksara pada prasasti, juga berbagai karya sastra kuno karya Mpu Prapanca, Mpu Tantular dan sebagainya. Karya tersebut bahkan menunjukkan kejayaan bangsa Nusantara ini seperti Kakawin Sutasoma karya Mpu Tantular. Menariknya, meski tertulis dalam lembaran lontar namun mengisahkan kejayaan Majapahit kala itu.

Selain itu, bangsa ini memiliki tradisi budaya tutur yang mana banyak sejarah yang belum tertuliskan namun tetap bisa dinikmati kisahnya. Bahkan, tidak sedikit pula kisah dalam budaya tutur yang dianggap sebagai mitos karena banyak menggunakan permainan simbol ‘majas’ dalam penuturan kisah. (*)

Penulis: Nur Syafaáh, M.Pd.
Dosen FTIK Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang