Pesantren Sudah Pengalaman dalam Catering, Tidak Pernah Ada kasus Keracunan

Ketua PWNU Jawa Tengah KH Abdul Ghaffar Rozin (tengah) saat jumpa pers Kick off Hari Santri Nasional PWNU Jateng di ruang rapat lt 2 PWNU Jawa Tengah, Senin (13/0/2025) sore. Rifqi/Lingkar.co
Ketua PWNU Jawa Tengah KH Abdul Ghaffar Rozin (tengah) saat jumpa pers Kick off Hari Santri Nasional PWNU Jateng di ruang rapat lt 2 PWNU Jawa Tengah, Senin (13/0/2025) sore. Rifqi/Lingkar.co

Lingkar.co – Ketua Tanfidziah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah KH Abdul Ghaffar Rozin (Gus Rozin) menyatakan kesiapan pesantren dalam menerima program Makan Bergizi Gratis (MBG). Sejauh ini di pesantren tidak pernah ada kasus keracunan makanan.

Gus Rozin juga menyampaikan hal itu merupakan hasil rapat pleno pengurus harian PWNU Jawa Tengah tentang kesiapan menerima program MBG. Dia menilai, kasus keracunan MBG di beberapa sekolah harus dihindarkan secara serius dengan adanya mekanisme yang jelas.

“Mungkin juga perlu ada mekanisme tersendiri bagi MBG-MBG yang kemudian kecelakaan keracunan itu. Tetapi saya kira dari hulu hingga hilir, mulai dari supplier, masak, pascamemasak, penyajian, dan macam-macam itu perlu mendapatkan pengawasan yang cukup melekat,” ujarnya dalam jumpa pers di ruang rapat lt 2 PWNU Jateng, Senin (13/10/2025) sore.

Setelah kejadian keracunan MBG pemerintah mulai menerapkan kewajiban sertifikasi. Namun demikian menurut dia, pengawasan langsung lebih penting daripada sertifikasi, “Ya, sertifikasi-sertifikasi itu mungkin cukup mendukung, tetapi pengawasan jauh lebih utama,” katanya.

Menurut dia, pesantren yang telah terbiasa menyediakan makanan bagi santri dalam jumlah besar setiap hari jauh lebih siap menerapkan program MBG jika dibandingkan dengan pihak lain yang belum terbiasa mengelola catering, “Pesantren jauh lebih siap. Karena sebelum ada MBG pun, dapur pesantren itu masak ribuan kali, tiga kali dalam sehari. MBG itu kan cuma sehari,” ucapnya.

“Jadi saya kira kalau kemudian MBG itu memiliki satu program khusus yang dedicated untuk pesantren itu akan sangat baik. Tentu dengan tanpa merubah standar yang selama ini diterapkan oleh MBG,” imbuhnya,

Standar tersebut, kata dia, seperti aturan tentang dapur dapur, gizi, akuntansi, karena program tersebut memakai ABBN, maka akuntabilitas itu menjadi sesuatu yang sangat penting.

“Dan selama ini, kalau kami melihat, MBG pesantren di Jawa Tengah ini belum banyak. Baru sekitar 11 atau 12 MBG berbasis pesantren. Saya kira itu bisa menjadi pertimbangan BGN (Badan Gizi Nasional) dalam hal ini,” paparnya.

Terkait standar gizi, menurut pengasuh Pesantren Maslakul Huda Kajen ini menegaskan sangat siap menyajikan menu MBG dengan anggaran Rp10.000 per menu dalam sekali makan karena harga menu di pesantren yang ia asuh jauh lebih murah.

‘Anak-anak pesantren itu biasanya di tempat saya itu misalnya satu kali makan itu maksimal 3.400. Nah kirim ini dengan bajet 10.000 ini sudah sangat apa namanya sudah sangat bagus untuk mendukung santri karena selama ini kan santri itu cukup independen,” terangnya.

Menjawab tentang kapasitas MBG di pesantren, Gus Rozin menegaskan tidak ada masalah karena pengelolaan catering di pesantren sudah berjalan cukup lama dengan jumlah yang banyak. Ia pun menyontohkan Pesantren Sarang, Rembang dan Tegalrejo, Magelang yang bisa menjadi 4 MBG.

“Sarang itu satu komplek bisa sampai berapa itu, 20.000 atau 15.000 satu pesantren, itu 4 MBG sendiri disitu untuk satu pesantren, Tegalrejo juga bisa 15.000 dalam satu pesantren. Selama ini tanpa MBG gak ada yang keracunan, gak ada yang terluka juga,” tandasnya.

“Nah, konkretnya adalah kita menawarkan ada satu paket khusus ya dengan mekanisme tertutup untuk MBG pesantren. Karena yang terbiasa melakukan catering dalam jumlah besar dan basisnya harian itu kan tidak banyak kan. Itu kan catering tentara, catering polisi, cateringnya pondok pesantren,” jelasnya. (*)

Penulis: Ahmad Rifqi Hidayat