JAKARTA – Pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis mengkritisi produk putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sidang sengketa Pilkada Serentak 2020. Ia mengatakan bahwa sikap MK dalam memeriksa dan mengadili syarat formal pengajuan sengketa hasil pilkada berdasar pada Pasal 158 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada.
Pasal ini membatasi gugatan sengketa hasil pemilihan kepala daerah. Yang mana hanya bisa melakukan proses pengajuan jika selisih suara penggugat dengan pemenang pilkada maksimum dua persen.
Menurut dia, apabila MK tetap menerapkan pasal tersebut dalam setiap proses persidangannya, maka sama saja MK sedang membiarkan kecurangan terjadi. Selama tidak melebihi batas yang telah ditentukan.
“Itu dia, karena mereka (MK) hanya pakai Pasal 158 doang, akhirnya begitu. Seperti kemarin itu (permohonan sengketa Pilkada) berguguran semua, hari ini pun akan keguguran lagi. Akhirnya kecurangan-kecurangan tidak terdeteksi,” kata dia.
Lebih lanjut, ia berpendapat bahwa sidang sengketa MK tersebut hanya sekadar untuk mengetahui jumlah penduduk dan selisih suara dalam pilkada suatu daerah. Iapun mengingatkan MK untuk kembali ke khitahnya sebagai benteng terakhir para pencari keadilan, dengan mengesampingkan Pasal 158 itu.
“Harus kesampingkan hal tersebut. Menurut saya sebetulnya tanpa perlu revisi pun MK atas nama keadilan berhak meninggalkan pasal itu,” ujar dia.(ara/dim)
Dapatkan update berita pilihan dan terkini setiap hari dari lingkar.co dengan mengaktifkan Notifikasi. Lingkar.co tersedia di Google News, s.id/googlenewslingkar , Kanal Telegram t.me/lingkardotco , dan Play Store https://s.id/lingkarapps