Lingkar.co – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) menjadi polemik di masyarakat, baik di tingkat elit politik maupun masyarakat umum.
Hal itu lantaran menjadi jalan bagi Gibran Rakabuming Raka maju sebagai Calon Wakil Presiden (Cawapres) bagi Prabowo Subianto yang kembali maju sebagai Calon Presiden (Capres) pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 mendatang.
Menurut putusan MK, batas penalaran yang wajar kurang relevan jika harus dikaitkan hanya dengan syarat batasan usia minimal bagi Capres dan Cawapres.
Sejalan dengan hal itu, isu strategis yang muncul dalam Putusan 90/PUU-XXI/2023 antara lain; Overulling, positive legislator, open legal policy, conflict of Interest, concuring atau dissenting.
Telah lazim diketahui bahwa MK sebagai peradilan konstitusi memiliki kewenangan konstitusional sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 24C ayat (1) dan (2) UUD 1945 yang mana satu diantaranya berwenang untuk menguji (judicial review) terhadap UUD. Sehingga yang menjadi putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat.
Untuk dapat melihat secara proporsional, penulis akan sedikit memaparkan tentang overulling (perubahan pendirian) pada putusan MK. Secara faktual, MK dapat berubah pendirian dalam menilai isu konstitusionalitas terhadap suatu permasalahan yang sama. Hal itu tidak lepas dari argumentasi yang sangat kuat setelah mendapatkan fakta-fakta penting yang berubah di tengah-tengah Masyarakat.
Meskipun demikian, tidak semua praktik overruling tersebut justifiable, sebab perlu adanya justifikasi dari aspek sosiologis, hukum, dan moral.
Selain tentang batasan usia Capres dan Cawapres, masyarakat juga perlu memperhatikan beberapa putusan MK yang overruling. Antara lain:
- Putusan MK terkait model Pemilu Serentak 55/PUU-XVII/2019 mengubah Putusan MK 14/PUU-XI/2013.
- Putusan MK terkait Badan Peradilan Khusus Pilkada 85/PUU-XX/2022 Mengubah Putusan MK 97/PUU-XI/2013
- Putusan MK 36/PUU-XV/2017 dan 36/PUU-XV/2017 telah menafsirkan kelembagaan KPK sebagai bagian dari lembaga eksekutif, padahal dalam 4 (empat) putusan sebelumnya yaitu Putusan 016-017-019/PUU-IV/2007, 19/PUU-V/2007, /PUU-VIII/2010, dan 5/PUU-IX/2011, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa KPK sebagai lembaga independen yang tidak masuk dalam sistem kekuasaan eksekutif, yudikatif maupun legislatif.
Oleh karena itu, masyarakat juga mesti mengetahui dan memahami beberapa justifikasi yang mungkin digunakan sebagai landasan Putusan 90/PUU-XXI/2023. Antara lain; MK mengedepankan prinsip memberi kesempatan dan menghilangkan pembatasan (to give opportunity and abolish restriction) secara adil, rasional, dan akuntabel.
Adanya pertimbangan bonus demografi penduduk Indonesia yang digaungkan sebagai masa Indonesia Emas. Sehingga sangat rasional apabila mereka menginginkan adanya calon pemimpin dari kalangan milenial (muda)
Hal yang tak kalah pentingnya, fakta bahwa kepemimpinan dunia saat ini mulai didominasi pemimpin dibawah 40 tahun saat mereka dilantik. Misalnya; Gabriel Boric yang dilantik sebagai Presiden Chile di usia 35 tahun, Vjosa Osmani yang diangkat menjadi Presiden Kosovo di usia 38 tahun, dan Emmanuel Macron yang duduk sebagai Presiden Prancis di usia 39 tahun.
Bahkan dari sudut pandang sejarah, Indonesia pernah dipimpin oleh Sutan Sjahrir sebagai Perdana Menteri pada usia 36 tahun. Secara historis, Konstitusi RIS, UUD 1950, dan UU terdahulu juga mengatur batas usia minimum capres/cawapres dibawah 40 tahun
MK juga mungkin telah melakukan kajian komparatif tentang banyaknya negara di dunia yang mengatur batas usia minimum Capres/Cawapres dibawah 40 tahun di dalam konstitusinya.
Pembentuk undang-undang dalam menetapkan batas usia minimal 40 tahun terbukti melanggar prinsip kepastian hukum yang adil karena sebelumnya pembentuk undang-undang telah menentukan syarat usia minimum 35 tahun bagi calon Presiden dan wakil presiden sebagaimana dalam UU 42/2008.
Jika ketentuan UU 42/2008 berlaku saat ini, maka akan membuka kesempatan seluas-luasnya kepada generasi muda yang hendak mengikuti kontestasi dalam pemilihan umum presiden dan wakil presiden, namun pembentuk undang-undang justru menaikkan batas usia tersebut menjadi 40 tahun dalam UU 7/2017.
Artinya dalam batas penalaran yang wajar, justru menghilangkan kesempatan yang secara adil dan rasional yang seharusnya diberikan pada generasi muda. Sehingga, naiknya batas usia minimum presiden/wakil presiden dari 35 tahun (UU 42/2008) menjadi 40 tahun (UU 7/2017) sejatinya telah melanggar prinsip kepastian hukum yang adil.
Batas usia minimal dibawah 40 tahun tersebut tidak dapat berdiri sendiri karena sifat jabatan presiden dan wakil presiden adalah jabatan yang sangat strategis dalam sistem ketatanegaraan, yang untuk mendudukinya memerlukan kualifikasi jabatan yang sebelumnya pernah atau sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum.
Kualifikasi jabatan tersebut penting untuk dijadikan sebagai alternatif dari syarat usia minimal karena figur yang pernah terpilih dalam pemilihan umum artinya adalah figur yang pernah terbukti mendapat kepercayaan dari pemilih (rakyat).
Oleh karena itu, pembatasan usia minimal 40 (empat puluh) tahun tidak saja menghambat atau menghalangi generasi muda dalam kontestasi pimpinan nasional namun juga mendegradasi generasi muda dalam karir politiknya.
Seharusnya, usia dibawah 40 tahun sepanjang pernah menjabat jabatan elective office dapat berpartisipasi dalam kontestasi calon Presiden dan Wakil Presiden yang selanjutnya ditentukan oleh partai politik atau gabungan partai politik pengusung dan pada akhirnya ditentukan oleh pemilih (rakyat).
Jabatan-jabatan dimaksud merupakan jabatan yang bersifat elective office, sehingga dalam batas penalaran yang wajar jabatan elective office telah diakui dan mendapatkan legitimasi dari rakyat bahwa figur/orang tersebut mampu menjalankan tugasnya sebagai pejabat publik.
Andaipun seseorang belum berusia 40 tahun namun telah memiliki pengalaman sebagai pejabat negara yang dipilih melalui pemilu termasuk pilkada tidak serta merta seseorang tersebut menjadi Presiden dan/atau Wakil Presiden. Sebab, masih terdapat dua pintu utama syarat konstitusional yang harus dilalui. Yakni syarat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik, dan syarat dipilih secara langsung oleh rakyat.
Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 mengatur bahwa Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum. Sehingga, meskipun seseorang yang telah memiliki pengalaman sebagai pejabat negara namun tidak diusung atau diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum.
Maka, sudah tentu tidak dapat menjadi calon Presiden dan/atau Wakil Presiden. Selanjutnya, seandainya seseorang diusung atau diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum, maka mereka tentu harus melewati syarat konstitusional lanjutan yaitu Pasal 6A ayat (1) yang menyatakan Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. (*)
Penulis: Prof. Dr. Martitah, MHum
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang
Disampaikan dalam Webinar Nasional Quo Vadis Mahkamah Konstitusi: Pelindung Kontribusi Atau Pelopor Juristrokrasi
Dapatkan update berita pilihan dan terkini setiap hari dari lingkar.co dengan mengaktifkan Notifikasi. Lingkar.co tersedia di Google News, s.id/googlenewslingkar , Kanal Telegram t.me/lingkardotco , dan Play Store https://s.id/lingkarapps