JAKARTA, Lingkar.co – Kebebasan pers di Indonesia lahir setelah Orde Baru tumbang pada 1998 dan munculnya pasal 28 F UUD 1945, melalui amandemen kedua.
Pasal tersebut berbunyi, ”setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan mengungkapkan segala jenis saluran yang tersedia.”
Baca juga:
Usai Mengisi Bahan Bakar, Sebuah Mobil Angkutan Terbakar di Temanggung
Kendati Indonesia menyatakan negara demokrasi, kenyataannya selama rezim Orde Baru, kebebasan pers sebagai salah satu ciri demokrasi justru mengalami kekangan.
Media yang melanggar peraturan dan mengeritik penguasa bisa mengalami pembredelan. Mekanisme penerbitan media massa di kontrol melalui ”rezim SIUPP” (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers).
Butuh Dua Minggu Untuk Membahas UU Pers
Sebagai upaya untuk memerdekakan kebebasan pers dalam menjalankan tugasnya, Presiden RI Bacharuddin Jusuf Habibie pada tahun 1999, resmi mengesahkan Undang-undang Pers sebagai jawabannya.
Baca juga:
Harga Minyak Dunia Melonjak, Pertamina Di minta Naikkan Harga BBM
Undang-undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 tersebut disetujui Dewan Perwakilan Rakyat dan di sahkan di Jakarta pada 23 September 1999.
Melansir dari dewanpers.or.id, pembuatan undang-undang pers tersebut terhitung sangat cepat di buat, yang hanya membutuhkan waktu dua minggu saja.
Undang-undang pers tersebut pertama kali di buat pada Agustus tahun 1999 dan selesai pembahasan serta disetujui 13 September 1999.
Baca juga:
HM. Hartopo: Pemkab Optimalkan Tempat Isolasi di Kudus
Kemudian undang-undang pers tersebut di sahkan dan berada dalam lembaran Negara Tahun 1999 No. 1666.
Menteri Penerangan kala itu yang juga memimpin pembuatan undang-undang pers menyatakan bahwa keefektifan untuk pembahasan RUU hanyalah 10 hari.
Semula Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers tersebut hanyalah salah satu dari Rancangan Undang-undang (RUU) tentang media massa, yang meliputi penyiaran, perfilman, dan pers.
Baca juga:
Kapolri, Panglima TNI dan Bupati Hartopo Minta Masyarakat Disiplin Prokes
Namun rencana penggabungan RUU tersebut dinilai tidak efektif, oleh sebab itu ketiganya diajukan kepada DPR secara terpisah.
Dari ketiganya, RUU tentang pers disetujui lebih awal dari RUU Penyiaran dan RUU Perfilman. Dalam hal ini dewan pers juga memberikan lima poin sebagai pertimbangan undang-undang pers.