Sepekan di Hutan Bawean, Balai Besar KSDA Jawa Timur Temukan Penambangan Liar dan Pemindahan Pal Batas

Aktivitas tim patroli Balai Besar KSDA Jawa Timur di hutan Bawean. Foto: dokumentasi
Aktivitas tim patroli Balai Besar KSDA Jawa Timur di hutan Bawean. Foto: dokumentasi

Lingkar.co – Tim patroli gabungan Seksi Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Wilayah III Surabaya, Balai Besar KSDA Jawa Timur dan Masyarakat Mitra Polhut (MMP) Bawean Lestari menjalankan patroli selama sepekan. Patroli dilakukan secara sistematis menggunakan pendekatan SMART (Spatial Monitoring and Reporting Tool).

Dari 24-31 mei 2025, mereka menapaki kembali jalur-jalur lama, juga membuka jalur baru mengikuti peta grid dan analisis kerawanan. Targetnya, memantau biodiversitas, mencatat gangguan kawasan, dan memperkuat batas konservasi.

Jejak Babi Kutil dan Rusa Bawean masih terdata. Elang ular Bawean, Kukuk Beluk, dan Madu Kelapa sempat melintas di langit atau di semak. Masih bisa dibilang cukup aman. Namun di sisi lain, sebuah batang kayu jati ditemukan ditebang. Dua tunggak sisa penebangan lainnya menambah daftar pelanggaran. Bahkan air dipakai tanpa prosedur, patok batas dipindah, dan tambang tak berizin terdeteksi menempel di tepi kawasan.

“Kami temukan beberapa pal batas dipindahkan jauh dari posisi asli,” ungkap Abdul Rahem sebagaimana dilansir dari laman resmi KSDA, Sabtu (7/6/2025).

Namun demikian, tidak ada pelaku yang tertangkap tangan. Tim hanya mencatat jejak dan lokasi kejadian secara lengkap, GPS, foto, dan laporan kejadian disusun sesuai standar SMART Patrol. Meski perambahan dan pelanggaran tak terlalu masif, laporan itu menunjukkan betapa kawasan konservasi di pulau ini masih rapuh.

Di tengah keterbatasan personel dan sulitnya topografi, keterlibatan masyarakat menjadi penyangga terakhir yang memungkinkan konservasi tetap berjalan.

Dijelaskan, MMP Bawean Lestari adalah wajah dari pendekatan konservasi yang partisipatif, tapi juga rentan. Mereka belum berlindung dalam struktur formal, hanya mengandalkan semangat dan sedikit pelatihan teknis. Namun dari tangan mereka, data satwa, tumbuhan, dan gangguan dikumpulkan secara rutin dan akurat. Bahkan laporan dari warga sering kali lebih cepat daripada laporan diatas kertas.

Peran MMP Bawean Lestari bukan sebatas pendampingan. Mereka turut menentukan jalur patroli, mengenali spesies lokal, dan mencatat data secara langsung. Pengetahuan lokal masyarakat berpadu dengan pendekatan ilmiah petugas lapangan, suatu bentuk kolaborasi yang semakin dibutuhkan dalam konservasi berbasis masyarakat. Tak hanya soal ekologi, patroli juga diselingi koordinasi dengan desa penyangga untuk memastikan bahwa hubungan harmonis antara warga dan alam tetap terjaga.

Di bawah naungan hutan primer dan semak belukar yang disusupi anggrek liar, Anggrek Bulan, Vanda, Pholidota, konservasi berjalan bukan hanya karena anggaran, melainkan karena hubungan antara hutan dengan manusia, antara negara dengan rakyat, antara aparat dengan warga yang memilih ikut menjaga.

“Konservasi bukan sekadar tugas negara. Ia hidup ketika masyarakat menjadikannya bagian dari budaya.” ujarnya. (*)