KRT Rinto Isworo menceritakan, Panembahan Senopati itu sebenarnya bukan putra raja namun bercita-cita jadi raja. Kemudian, ia bertapa di berbagai tempat, terutama di pantai Parangkusumo, Bantul, DIY.
Khusus Labuhan Gunung Lawu, merupakan tempat penting karena raja-raja Mataram keturunan Prabu Browijoyo V adalah raja terakhir Majapahit sebelum runtuh pada tahun 1400 Saka atau 1478 Masehi.
“Brawijaya V mengungsi ke Gunung Lawu bersama putranya, Raden Gugur. Lalu bertapa. Ketika menerima lelaku bertapa tersebut, Prabu Brawijaya V meninggal tidak meninggalkan jasa. Setelah mukso dan jadi roh halus bernama Suna Lawu. Hal yang sama juga terjadi dengan Raden Gugur, yang kemudian juga mukso,” kata KRT Rinto Isworo.
Dalam Labuhan Gunung Lawu di Hargo Dalem di puncak Gunung Lawu tersebut, akan dilabuhkan beberapa ubo rampe seperti kain batik dan makanan apem. Kain batiknya ada dua bagian yaitu Kasepuhan dan Kanoman.
Ubo rampe Kasepuhan berupa kain motif batik dengan nama Kampuh Poleng, Dhesthar Bangutulak, dan peningset jingga masing-masing satu lembar.
Sedangkan ubo rampe Kanoman adalah Nyamping Cangkring, Nyamping Gadhung, Nyamping Teluhwatu, Semekan Dringin, Semekan Songer masing-masing 1 lembar, Sela, Ratus, Lisah Konyoh satu bungkus dan yatra tindih.
Sementara apem merupakan simbol dari wujud permintaan maaf kepada Tuhan. Seperti asal kata ‘Apem’ yang berasal dari bahasa Arab ‘afuwwun’ yang berarti pengampunan.
“Tidak ada arti atau simbol dari ubo rampe itu. Tapi kesukaan atau apa yang dipakai Prabu Brawijaya lha itu yang dibawa, dilestarikan. Kurang lebih seperti itu. Ada ubo rampe kasepuhan lawu dan kasepuhan anom,” ungkapnya.
Dapatkan update berita pilihan dan terkini setiap hari dari lingkar.co dengan mengaktifkan Notifikasi. Lingkar.co tersedia di Google News, s.id/googlenewslingkar , Kanal Telegram t.me/lingkardotco , dan Play Store https://s.id/lingkarapps