Isu Presiden Tiga Periode, Pengamat Politik: Berpotensi Membawa Korupsi yang Luar Biasa

Pengamat Politik, Sekaligus Dosen Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Rido Al-Hamdi. FOTO: Rezanda Akbar/Lingkar.co
Pengamat Politik, Sekaligus Dosen Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Rido Al-Hamdi. FOTO: Rezanda Akbar/Lingkar.co

SEMARANG, Lingkar.co – Desas-desus amandemen UUD 1945 merambat ke isu masa jabatan Presiden tiga periode. Lamanya masa jabatan presiden, berpotensi menjadikan korupsi luar biasa.
 
Isu ini pertama kali bergulir lewat MPR, dengan menumpang wacana Amandemen UUD 1945, pada pertemuan dengan Presiden di Istana Kepresidenan Bogor pada, Jumat (13/8/2021).

“Terlepas dari amandemen UUD 1945, jabatan presiden tiga periode, itu terlalu lama,” ucap Pengamat Politik, dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta yang sekaligus sebagai dosen ilmu politik, Ridho Al-hamdi, Kepada Lingkar.co, Sabtu (4/9/2021).

Baca Juga:
Mutasi Jabatan Rawan Gratifikasi
 


Ridho menyebutkan, kekuasaan yang terlalu lama akan membawa pada kekuasaan absolut. Untuk itu, Ridho mengingatkan tentang pernyataan, John Dalberg-Acton, politikus dan sejarawan Inggris, Kamhar.
 
Power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely,” kutipnya.
 
“Jadi, kekuasaan yang terlalu lama akan membawa ke korupsi yang luar biasa, maka jabatan jangan terlalu lama dan harus dibatasi,” sambungnya.

Telah diatur Undang-Undang


 
Sebetulnya, lembaga negara atau alat negara dapat mengajukan permohonan amandemen UUD kepada MPR. Nantinya MPR akan menelaah dan memutuskan dalam rapat paripurna MPR.
 
Hal tersebut ada pada Pasal 37 Undang-Undang Dasar 1945 tentang amandemen.
 
Pasal 37 UUD 1945 ayat (1) menyebutkan bahwa usul perubahan pasal-pasal konstitusi dapat diagendakan dalam sidang MPR apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya satu pertiga dari jumlah anggota MPR. Ayat (2) menyebutkan, setiap usul perubahan pasal-pasal UUD diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya.
 
Lalu ayat (3) mengatur bahwa untuk mengubah pasal-pasal UUD, sidang MPR dihadiri oleh sekurang-kurangnya dua pertiga dari jumlah anggota MPR. Adapun ayat (4) menyatakan bahwa putusan untuk mengubah pasal-pasal UUD dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya 50 persen plus satu anggota MPR.

Namun, apabila jabatan terlalu lama akan berdampak pada masalah yang lebih panjang lagi. Hal ini membuat negara berpotensi menjadi milik perorangan atau kelompok tertentu saja.
 
“Jadi itu poin saya, dua periode itu sudah maksimal dan harus terjadi sirkulasi elit. Undang-undang dibuat untuk sirkulasi elit, bukan untuk memperpanjang elit,” tutupnya.*
 
 
Penulis: Rezanda Akbar D
Editor: Nadin Himaya